Meski tengah jadi sorotan, pada Selasa (12/5/2020) DPR RI tetap mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Merespon hal itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung #BersihkanIndonesia atas UU Minerba bersepakat akan mengambil opsi politik dan hukum guna mendesak pemerintah membantalkan UU minerba. Hal itu mencuat pada konferensi pers daring, Rabu, 13 Mei 2020.
Koordinator Jatam, Merah Johansyah menegaskan lama tidaknya waktu pembahasan tidak menjamin mutu dan kualitas UU ini. Terlebih, menurutnya RUU Minerba ini tidak ada partisipasi dari warga lingkar pertambangan, masyarakat adat, perempuan yang diajak berbicara.
“Padahal daya rusaknya hampir menyasar semua aspek keamanan hidup mereka seperti polusi udara, pencemaran sumber air dan tanah. Hilang kontrol warga terhadap akses air bersih,” ujarnya.
Kata dia, operasi pertambangan saat ini tidak ada batasan lagi. 44 persen daratan di Indonesia telah dikuasai konsesi tambang. Isi dan komposisi UU ini tidak berangkat dari masalah apa yang terjadi di lapangan, tapi pasal-pasalnya justru titipan dari oligarki tambang.
Data Jatam, tercatat sebanyak 143 korban lubang tambang antara 2014-2019. Sebanyak 36 anak meninggal. Namun tidak ada sanksi diberikan kepada perusahaan, justru diberi diskon dan insentif. Tidak ada juga klausul hak veto atau hak warga untuk mengatakan tidak jika tambang masuk ke wilayahnya.
“Harusnya perusahaan itu diaudit kerusakan lingkungannya. Saya melihat ini tidak tepat disebut UU tapi lebih tepatnya memo karena ada jaminan bagi perusahaan,” tegas Merah.
Sementara, Peneliti PWYP, Aryanto Nugroho menilai selain tidak transparan dan tidak partisipatif, terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses pembahasan RUU Minerba.
“Pandangan mini fraksi seolah hanya seremonial belaka, meskipun tiap fraksi memberikan catatan pada saat Pembicaraan Tingkat I (11/5/2020). Catatan tersebut tidak dibahas dalam rapat tersebut,”
“Misalnya, pandangan satu partai yang meminta pasal 165 UU Minerba lalu untuk tidak dihapus, tidak dibahas sama sekali. Belum lagi catatan terhadap pasal-pasal lainnya. Artinya, sejumlah fraksi mengakui banyak pasal bermasalah, namun tidak dibahas, malah turut menyetujui,” tuturnya.
Kata Aryanto, sejumlah pasal bermasalah yang akhirnya disahkan dalam UU Minerba ini, diantaranya berkaitan dengan pemberian “karpet merah” bagi pemegang PKP2B yang akan habis masa berlakunya, berupa perubahan menjadi IUPK tanpa lelang, jaminan perpanjangan dan luas wilayah tidak perlu diciutkan.
Baca juga: Banyak Dikritik, Berikut Daftar 15 Perubahan UU Minerba
Pencabutan kewenangan perizinan dari Provinsi ke Pusat yang berpotensi menjadi re-sentralisasi dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Menurutnya, ini bisa jadi potensi konflik hubungan daerah-pusat yang selama ini tidak selesai.
Terkait klaim DPR yang menyebutkan soal naiknya denda bagi perusahaan yang tidak melakukan reklamasi dan pengaturan soal kewajiban pemberdayaan masyarakat. Sebetulnya itu bukan hal yang baru, sebab telah diatur dalam UU Minerba sebelumnya.
Jelasnya, problemnya justru di pengawasan dan penegakan hukum. Puluhan korban lubang tambang di Kaltim yang tidak ditangani dan fakta bahwa perusahaan yang menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang masih di kisaran 50% saja, menunjukkan problem tersebut.
Isu lain adalah terkait peningkatan nilai tambah (hilirisasi). Khusus batubara, yang di UU sebelumnya wajib meningkatkan nilai tambah. Di UU Minerba saat ini, kata wajib diganti dengan dapat.
Senada, Esekutif Walhi Nasional, Edo Rakhman menyatakan pembungkaman demokrasi dan partisipasi ini bisa dilihat dari hasil Putusan MK 32/PUU-VIII/2010 tgl 4 Juni 2012, yang memerintahkan pemerintah bahwa dalam menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayahnya maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
“Tidak pernah ada aturan teknis yang dibuat pemerintah untuk melaksanakan putusan tersebut padahal itu adalah hak masyarakat untuk dimintai persetujuannya. Kini ironisnya Mahfud MD, Ketua MK saat lahirnya putusan tersebut dan sekarang menjadi bagian dari rezim yang mengabaikan partisipasi masyarakat,” bebernya.
Untuk diketahui, konferensi pers daring organisasi masyarakat sipil tersebut juga turut dihadiri Arip Yogiawan Ketua Kampanye dan Jaringan YLBHI, Pius Ginting Direktur Eksekutif Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Egi Primayoga, Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Iqbal Damanik dari Auriga Nusantara, dan Hindun Mulaika dari Greenpeace Indonesia. (Yud/DT).
Discussion about this post