DIALEKTIS.CO – Pro kontra pengesahan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang terus bergulir. Kali ini sekelompok organisasi dan aktivis yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Kaltim Menolak IKN angkat bicara.
Menurut mereka sejak berbentuk rancangan hingga disahkan menjadi Undang-Undang pada 18 Januari 2022, regulasi pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur tersebut cacat prosedural dan mengancam keselamatan rakyat Kaltim.
Dalam rilis yang diterima media ini, mereka menilai selain mengancam keselamatan ruang hidup rakyat. RUU IKN juga mengancam satwa langka terutama yang terdampak langsung, yakni Kabupaten Penajam, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan.
Baca juga: Nusantara Dipilih Jadi Nama Ibu Kota Negara, Bapenas: Jokowi Sudah Setuju
Sebab megaproyek IKN berpotensi menggusur lahan-lahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Suku Balik dan suki Paser serta warga Transmigran yang sudah lama menghuni di dalam kawasan 256 ribu Hektar.
“Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, merupakan gambaran tidak becusnya pemerintah dalam menangani dan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di Jakarta,” tegas Pradarma Rupang, salah satu narhubung Koalisi Masyarakat Kaltim.
RUU IKN dinilai minim partisipasi publik. Padahal di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menyebut bahwa setiap Undang-Undang wajib ada partisipasi dari publik.
Penetapan pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur adalah keputusan politik tanpa dasar yang jelas, tidak partisipatif, dan tidak transparan.
RUU IKN cacat prosedural dalam penyusunan KLHS kembali dilakukan dalam pembuatan RUU IKN. Dimana sebelumnya dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung dari pemindahan Ibu Kota.
Tak hanya itu, masyarakat di wilayah lain yang juga akan terdampak dalam megaproyek ini seperti ribuan ASN Pemerintah Pusat di Jakarta dan sekitarnya, warga di Sulawesi Tengah, serta 2 kampung masyarakat adat yang hidup di sepanjang sungai kayan akan ditenggelamkan beserta 5 Kampung yang juga digusur paksa untuk pembangunan DAM kecil pendukung PLTA Kaltara. Hal tersebut demi memasok listrik bagi situs perkantoran di ibu kota baru.
Adapun lahan IKN yang akan dibangun tidak lain merupakan lahan-lahan perusahaan sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), serta tambang yang merupakan milik dari para oligarki-oligarki yang dengan sengaja merusak hutan dan lahan.
Di samping itu, pemindahan Ibu Kota Negara juga merupakan agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk dalam wilayah IKN.
Menurut catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN di mana tanggungjawab untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggung jawab negara.
Baca juga: Dinilai Tidak Demokratis, Muncul Aksi Boikot Konsultasi Publik RUU IKN di Unmul
RUU IKN ini juga dinilai disosialisasikan secara tertutup, termasuk pada saat kegiatan konsultasi publik RUU IKN yang diadakan di Universitas Mulawarman, Samarinda pada 11 Januari 2022 lalu.
“Sikap Pemerintah yang memaksakan pemindahan Ibukota juga mencerminkan tidak sensitifnya Penguasa rezim Jokowi – Ma’ruf Amin terhadap kondisi masyarakat yang tengah sulit setelah hampir 2 tahun dilanda pandemi covid-19 di mana banyak warga yang mengalami penurunan ekonomi,” cecarnya dalam rilis tertulis itu.
Bagi mereka dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan Ibukota, akan sangat lebih berguna apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (kesehatan, pendidikan, dll) yang sedang mengalami kesulitan.
Sekedar diketahui, sejumlah aktivis dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Kaltim Menolak IKN ini diantaranya, Yohana Tiko – Walhi Kaltim, Buyung Marajo – Pokja 30, Fathul Wiyashadi – LBH Samarinda, Andi – FNKSDA Kaltim, dan Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim. (*)
Discussion about this post