DIALEKTIS.CO, Bontang — Media dan jurnalis masih kerap melakukan kesalahan dalam melakukan peliputan soal isu perempuan dan anak. Alih-alih membangun masyarakat yang inklusif, akibatnya media justru melanggengkan stigma atau pelabelan negatif dan peminggiran terhadap mereka sebagai kelompok rentan.
Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief menjelaskan, untuk mewujudkan masyarakat inklusif, diperlukan ekosistem media yang peka terhadap kelompok terpinggirkan.
Kepekaan ini perlu mesti terjadi di seluruh level; mulai manajemen media, ruang redaksi, sampai individu jurnalis. Namun, dalam praktiknya media justru kerap melanggengkan stigma dan peminggiran kelompok rentan.
Hal ini disampaikan Yovantra Arief dalam seminar hari jadi ke-6 Forum Jurnalis Bontang (FJB) yang bertajuk “Jurnalisme Verifikasi dan Dosa-dosa Media.” Kegiatan ini dihelat di Ruang Rapat Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Dispopar) Bontang, Jalan Jenderal Sudirman, Kamis (10/11/2022) pagi.
Pria yang akrab disapa Yoyon ini mengatakan, sebenarnya media mulai memperbaiki kualitas pemberitaannya untuk isu-isu lain. Misalnya, tidak menggunakan gambar sadistis ketika memberitakan soal kecelakaan. Namun untuk isu perempuan dan anak, media seolah tidak belajar. Pola kesalahannya pun tampak sama.
Menurutnya ada 4 kesalahan media kala meliput isu anak dan perempuan. “Dosa-dosa” ini yakni melakukan mengobjektifikasi, stereotiping atau pelabelan negatif, kekerasan ganda, serta pengungkapan identitas anak dan korban. Ini justru membuat media seolah melanggengkan stigmatisasi dan peminggiran terhadap perempuan dan anak.
“Ini dosa yang paling sering dilakukan media. Polanya selalu berulang, berputar di sini. Media seolah tidak belajar dari kesalahannya yang terdahulu,” tegasnya.
Dia mencontohkan, ketika seringnya media mengeksploitasi bagian tubuh korban yang umumnya perempuan, dalam berita pemerkosaan. Seharusnya media mengedukasi publik untuk tidak melakukan pemerkosaan, bukannya menyalahkan korban atas tubuhnya.
Belum lagi ketika media menggunakan diksi atau metafora yang cabul dan merendahkan. Seperti “digagahi” atau “digenjot”. Akibat dari stereotip dan objektifikasi itu, media seolah “mewajarkan” tindakan pemerkosaan itu.
“Akibatnya muncul dosa ke tiga media, yaitu kekerasan ganda terhadap korban. Pemberitaan media malah semakin memojokkan korban sebagai pihak yang bersalah,” ungkapnya.
Dia juga menegaskan, anak dan perempuan merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan. Dalam kasus anak dan remaja menjadi pelaku pun, media perlu berhati-hati dalam pemberitaannya agar tidak mengungkap identitas anak, baik melalui foto, nama orang terdekat, atau alamat rumah.
“Kenapa ini harus dilakukan, karena media mesti melindungi anak dan korban, serta keluarga, dari stigma dan trauma. Jangan sampai karena pemberitaan anak yang bermasalah itu, anak tidak punya masa depan,” ujar pria berkacamata ini.
Sebanya, ia mendorong agar media fokus pada akar persoalan alih-alih pada remah-remah yang ada di sekitar persoalan. Media mesti mendorong publik untuk merasionalisasi akar persoalan. Bukannya menulis serampangan dan tanpa etika hanya demi klik dan views.
Dia menawarkan 4 model pemberitaan guna mendorong pemberitaan anak dan perempuan yang lebih jernih dan mengedukasi publik. Pertama, berorientasi pada korban. Media perlu berupaya mengangkat suara-suara mereka yang lemah dan dilemahkan secara sosial, dengan orientasi menciptakan sistem, kebijakan, dan implementasi yang tepat guna. Bukan eksploitasi penderitaan warga terpinggirkan. Kedua, mendorong akuntabilitas publik.
Ketiga, mendorong literasi publik. Ini dibutuhkan untuk membantu publik membuat keputusan rasional berdasarkan informasi yang akurat serta pemahaman yang baik mengenai akar persoalan. Dan keempat, menginspirasi gerakan perubahan.
Sementara pemateri kedua, Mantan Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo menyampaikan soal jurnalisme data. Dia mengatakan bahwa tugas jurnalis bukan sekadar wawancara, pun berurusan dengan riset.
“Inti jurnalisme itu ada tiga VKK. Yakni verifikasi, konfirmasi, dan klarifikasi. Itu saja,” tegasnya.
Di era menjamurnya media siber, jurnalis kerap terjebak dalam melakukan liputan singkat, liputan “mencecap” alias hanya keterangan tokoh tertentu dijadikan berita, namun minim verifikasi dan ketepatan data.
Model pemberitaan seperti ini, yang dimulai akhir 90-an hingga awal tahun 2000-an sudah mulai ditinggalkan. Publik jenuh dengan model pemberitaan singkat-singkat, terpecah dan tidak utuh seperti ini. Sebanya jurnalis mesti melangkah lebih jauh dengan menyuguhkan pemberitaan yang dalam dan bermakna, melalui jurnalisme data yang memikat.
Menurut pria yang akrab disapa Stanley ini, jurnalisme data memberikan banyak manfaat. Bukan saja membuat berita lebih utuh dan memperjelas maksud. Ini juga bakal membuat kerja jurnalis lebih efisien sebab data-data yang berserak dapat dikumpul menjadi satu dan dapat menekan berita bohong (hoaks).
“Kita bisa lihat, media yang menulis berita pendek-pendek pun secara bisnis mulai turun. Sementara yang mendalam malah naik. Karena publik jenuh dengan berita pendek, tidak memberi makna dan membingungkan publik,” sebutnya.
Selain membahas soal jurnalisme data, Stanley juga menyentil soal penyelesaian sengketa pers. Dia menegaskan sengketa pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik tidak bisa masuk ranah pidana, tapi harus melalui Dewan Pers.
“Wartawan itu orang yang menjalankan amanat Undang- undang. Tidak boleh dipidana selama kerja jurnalisnya sesuai kode etik. Orang yang bisa menafsirkan kerja jurnalis itu sudah sesuai etik atau tidak itu hanya Dewan Pers. Jadi tidak bisa ditafsirkan sendiri,” tegasnya.
Ini menjadi persoalan lantaran banyak jurnalis yang dipolisikan ketika menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Semakin problematik sebab tak semua anggota kepolisian paham soal keberadaan MoU antara Polisi dan Dewan Pers untuk mencegah kriminalisasi terhadap jurnalis. Ia kemudian memgimbau bila terjadi sengketa berita yang dilaporkan ke polisi, maka jurnalis maupun perusahaan media agar bisa bersurat ke Dewan Pers.
“Laporkan saja ke Dewan Pers, nanti pasti dipantau,” tandasnya. (*)
Discussion about this post