DIALEKTIS.CO – Pristiwa pembacokan brutal yang dialami dua orang petani di Kecamatan Angata, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara pada Jumat, (6/6/2025) yang diduga dilakukan oleh preman bayaran menuai kecaman publik.
Kali ini, reaksi keras datang dari Pimpinan Pusat Serikat Tani Nelayan (PP STN).
Lewat pernyataan tertulisnya, STN mengecam keras tindak kekerasan terhadap petani di delapan desa terdampak, yakni Lamooso, Motaha, Lamoen, Puao, Puusanggula, Sandey, Teteasa, Puuroe, dan Sandarsi Jaya.
STN menilai aksi keji tersebut tak lepas dari konflik agraria yang telah berlangsung sejak tahun 1996. Konflik bermula dari sengketa antara petani dengan PT Sumber Madu Bukhari yang kemudian dilanjutkan oleh PT Marketindo Selaras (MS) sejak 2010.
Bersengketa atas lahan seluas 1.300 hektare. Konflik ini berakar dari tumpang tindih kepemilikan lahan, di mana lahan petani yang telah digarap secara turun-temurun dan sebagian telah bersertifikat, diklaim oleh perusahaan berdasarkan izin usaha perkebunan (IUP) atau hak guna usaha (HGU).
Ketidakjelasan status lahan, dugaan pelanggaran prosedur pengalihan aset perusahaan, serta kurangnya mediasi yang adil dari pemerintah daerah telah memperburuk situasi, hingga memicu tindakan kekerasan terhadap petani.
Puncak eskalasi konflik terjadi ketika petani yang mempertahankan hak atas lahannya menjadi korban kekerasan fisik oleh preman yang diduga disewa oleh pihak perusahaan.
Menurut, tindakan ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan struktural dalam pengelolaan sumber daya agraria di wilayah tersebut.
“Kami mengutuk segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Pembacokan yang dialami petani di Angata adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun,” tegas Ketua Umum STN Ahmad Rifai.
Masih dalam pernyataannya, STN menuntut aparat penegak hukum dalam hal ini Bapak Listyo Sigit Prabowo selaku Kapolri untuk segera mengusut tuntas kasus kekerasan ini, menangkap pelaku, dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab, termasuk yang memerintahkan atau mendukung tindakan tersebut.
Kata dia, keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus segera melakukan mediasi yang transparan, partisipatif, dan berpihak pada petani.
Ketidakjelasan status lahan, tumpang tindih HGU, dan dugaan korupsi dalam penerbitan izin harus diselesaikan dengan melibatkan masyarakat sebagai pihak utama.
“Petani adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional. Kami menuntut pemerintah untuk melindungi hak petani atas lahan mereka, termasuk dengan mempercepat redistribusi lahan melalui program reforma agraria yang sejati,” paparnya.
Kata dia, hal ini sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 yang kita tahu sering didengungkan Presiden Prabowo Subianto.
STN tegas menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak mereka. Pemerintah dan aparat keamanan harus menghentikan pendekatan represif dan mengedepankan dialog untuk menyelesaikan konflik.
Konflik di Kecamatan Angata adalah cerminan dari ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia, di mana 1% populasi menguasai 68% kekayaan tanah, sementara petani guram terus meningkat.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan reforma agraria sejati yang mengutamakan kepentingan petani kecil, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya,” ujarnya.
6 Tuntutan PP STN :
- Penghentian segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap petani di Kecamatan Angata.
- Penyelidikan menyeluruh terhadap kasus pembacokan petani oleh preman perusahaan, dengan memastikan pelaku dan pihak yang mendalangi diadili secara adil.
- Audit menyeluruh terhadap izin usaha perkebunan (IUP) dan HGU yang diberikan kepada PT Marketindo Selaras, termasuk proses pengalihan aset dari PT Sumber Madu Bukhari (SMB).
- Penyelesaian konflik agraria melalui mediasi yang melibatkan petani, pemerintah, dan perusahaan, dengan memprioritaskan hak petani atas lahan mereka.
- Percepatan reforma agraria di Indonesia, mulailah dengan penyelesaian konflik agraria di Konawe Selatan, termasuk redistribusi lahan kepada petani dan pemberian legalitas lahan yang jelas.
- Perlindungan terhadap petani dari kriminalisasi dan penggusuran paksa oleh perusahaan atau aparat.
“Konflik agraria ini adalah bagian dari darurat agraria yang melanda Indonesia. Kami menyerukan solidaritas dari seluruh elemen masyarakat untuk mendukung perjuangan petani dalam mempertahankan hak atas tanah dan kehidupan mereka,” pungkasnya. (*).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan bergabung saluran Dialektis.co WhatsApp atau telegram di link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join.
Discussion about this post