PARA aktivis dan jurnalis terus menggelar aksi solidaritas untuk mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Banjarhits, Diananta Putera Sumedi (Nanta, 36 tahun) yang disidang sebab menulis berita konflik lahan masyarakat adat versus perusahaan.
Aksi kali ini digelar di depan gedung Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di Jalan Palam, Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan untuk menandai pembacaan putusan sela oleh Majelis Hakim PN Kotabaru pada Rabu 24/6.
“Nanta tidak sendiri,” tegas jurnalis Muhammad Reza Pahlipi dari Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers.
Massa yang terdiri dari para jurnalis dari Banjarmasin dan Banjarbaru itu juga membentangkan spanduk yang bertuliskan besar kata-kata ‘BEBASKAN DIANANTA’.
Ada juga poster dengan kata-kata ‘Jurnalisme BUKAN Kejahatan, Jurnalis BUKAN Penjahat’, dan poster-poster hal konflik lahan yang selalu melibatkan masyarakat adat lawan perusahaan.
“Dan kami tidak diam melihat ketidakadilan yang dialami Nanta,” tandas Reza lagi di depan aparat Kejaksaan Tinggi dan kepolisian yang mengawal aksi.
Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers mengingatkan Majelis Hakim PN Kotabaru yang menyidangkan Nanta bahwa yang terjadi adalah kasus pers, bukan kasus pidana.
“Sebagai kasus pers, persoalan ini sudah selesai di Dewan Pers karena keberatan Sukirman sudah diberi hak jawab, media kumparan.com/banjarhits telah meminta maaf, dan beritanya dihapus,” papar Reza. Hak tersebut sesuai aturan di dalam UU Pers Nomor 40/1999.
Karena itu massa mempertanyakan kenapa hal ini terus dipermasalahkan hingga menjadi kasus dan Nanta dijerat dengan UU ITE, undang-undang yang niatan awalnya untuk menghukum para penjahat yang menggunakan media elektronik untuk menipu dan berbagai kejahatan lainnya.
Sukirman adalah orang yang melaporkan Nanta ke Polda Kalsel sebab tidak berkenan dengan pemberitaan yang ditulis Nanta di laman kumparan.com/banjarhits dengan judul ‘Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel’.
Jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi Penasihat Hukum Nanta Bujino A Salam bahwa media tempat Nanta menuliskan beritanya yaitu Banjarhits.id tidak berbadan hukum sehingga tidak dilindungi oleh UU Pers, Reza mengingatkan bahwa berita yang disoal terbit saat Banjarhits masih bagian dari kumparan.com, organisasi media yang berbadan hukum yang sah.
“Bahkan Dewan Pers pun mengingatkan kumparan untuk memperbaiki perjanjiannya dengan media-media lokal seperti Banjarhits di dalam program 1001 Startup Media yang digelarnya,” ungkap Reza mengutip Penilaian, Pendapat, dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers untuk masalah ini.
“Jadi tidak ada alasan menyidang Nanta. Sekali lagi, masalahnya sudah selesai di Dewan Pers,” tandas Reza.
“Maka Nanta harus dibebaskan tanpa syarat,” ujarnya lagi.
Massa juga menyebut UU ITE yang menjerat Nanta sebagai musuh kebebasan pers. Padahal pers yang bebas diperlukan untuk mengontrol para pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga terbentuklah peradaban yang tinggi.
“Kami ingatkan, bahwa yang diungkap Bung Nanta itu konflik lahan, ada potensi pelanggaran hukum yang nyata dalam peristiwa penggusuran lahan yang ditulisnya, bahkan juga pelanggaran Hak Asasi Manusia, tapi apa polisi sudah mengusut ini?”
Karena itu Reza pun mengajak masyarakat, jurnalis, akademisi, dan aktivis untuk mengawal kebebasan pers dan mendorong penyelesaian persoalan agraria di Kalsel dan di mana pun di Indonesia.
KRONOLOGI KASUS
Nanta ditetapkan sebagai tersangka sebab beritanya yang berjudul ‘Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel’. Konten ini diunggah melalui laman banjarhits.id, pada 9 November 2019 lalu.
Pengadu atas nama Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia.
Sukirman menilai berita itu menimbulkan kebencian karena dianggapnya bermuatan sentimen kesukuan.
Pada saat yang sama masalah ini juga telah dibawa ke Dewan Pers. Diananta dan Sukirman datang ke Sekrerariat Dewan Pers di Jakarta, pada Kamis, 9 Januari 2020 lalu guna proses klarifikasi.
Dewan Pers kemudian mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang mewajibkan banjarhits selaku teradu melayani hak jawab dari pengadu dan minta maaf. PPR diterbitkan Dewan Pers pada 5 Februari 2020.
Merujuk kepada UU Nomor 40/1999 tentang penanganan sengketa pers, maka PPR tersebut sudah menyelesaikan semua masalah. Hak jawab pengadu sebagai kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan versi pengadu sudah diberikan. Media, yaitu banjarhits sudah pula meminta maaf dan menghapus berita yang dipersoalkan.
Namun demikian penyidikan polisi terus berlanjut dengan surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel, pada tanggal 25 Februari 2020, hingga penahanan Nanta pada 4 Mei 2020. Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berisikan ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Pada 24 Mei penahanan Nanta dipindahkan ke Kotabaru dan dititipkan di Polres Kotabaru hingga persidangan mulai masuk jadwal persidangan sejak 8 Juni 2020. (*)
Discussion about this post