DIALEKTIS.CO, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak agar media massa menghentikan praktik seksisme dan subordinasi serta patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam pemberitaan olahraga.
Sikap AJI tersebut disampaikan menyusul, baru-baru ini warganet ramai membicarakan sebuah unggahan berisi beberapa tangkapan layar (screenshot) judul berita olahraga di situs media Viva.
Judul berita yang terdokumentasi selama 2020-2021 ini tampak mengobjektivikasi para atlet perempuan dan merendahkan kemampuan personal dan profesional mereka. Salah satunya adalah berita dalam arsip berikut https://archive.is/DDjHN
Alih-alih memberitakan olahraga yang fokus terhadap prestasi para atlet, Viva dinilai justru menayangkan berita-berita seksis yang eksploitatif dan diskriminatif terhadap identitas gender hanya demi mendulang klik.
“Hal ini sangat bertentangan dengan nilai yang mengikat kerja-kerja jurnalistik seperti tertera dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 dan UU Pers No. 40/1999,” tegas Ketua Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta, Nurul Nur Azizah.
Kata dia, berita-berita tersebut telah melanggar Pasal 8 KEJ yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani”.
Lebih jauh, Nurul Nur Azizah mengajak agar media tidak lagi melakukan praktik usang seperti seksisme dan subordinasi terhadap perempuan di media.
“Sekarang di seluruh dunia, isu kesetaraan gender itu terus bergaung. Jadi, kalau masih ada media-media yang melakukan praktik seksisme dan subordinasi terhadap perempuan dan kelompok rentan ya bisa kita bilang itu sudah usang, kuno,”
“Medianya tidak mengikuti perubahan zaman yang semakin progresif,” ujar Nurul dalam siaran pers resmi AJI Jakarta, Selasa (29/7/2021).
Nurul juga mengapresiasi publik yang sudah berperan aktif mengawasi kinerja insan pers. Namun, ia menyayangkan cara penyampaian kritik tersebut yang disertai dengan praktik doxing.
Doxing adalah kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi seseorang yang dilakukan oleh orang tidak berwenang atau tanpa izin dari pihak yang bersangkutan.
Di media sosial, nama penulis RP telah tersebar luas, beserta akun media sosialnya. Hal ini berpotensi merugikan pribadi ataupun lingkungan terdekatnya.
“Publik bisa memantau berita-berita yang bermasalah secara etik serta melaporkannya ke Dewan Pers,” pungkasnya. (Yud/DT).
Discussion about this post