DIALEKTIS.CO , Bontang – Beberapa waktu yang lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam melakukan pengesahan ini, DJP menggelar acara Sepak Perdana (Kick off) Sosialisasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) di Bali Nusa Dua Convention Centre, Kabupaten Badung, Bali, pada Jumat, (19/11) lalu.
Pengesahan UU HPP disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Ditjen Pajak RI sehingga dapat disaksikan oleh masyarakat luas.
Diterangkan Kepala KPP Pratama Bontang, Hanis Purwanto, Perumusan UU HPP merupakan bentuk reformasi sebagai upaya penyempurnaan undang-undang perpajakan yang telah berlaku sebelumnya agar sistem perpajakan menjadi lebih adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
“Undang-undang HPP akan mulai diberlakukan pada tahun 2022. Dalam implementasinya, UU HPP diharapkan dapat menjadi pelengkap dari seluruh peraturan perpajakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, adanya UU HPP ini diharapkan pula dapat menjadi pemicu perbaikan ekonomi Indonesia pasca pandemi Covid-19,” ucap Hanis, dalam keterangan pers yang diperoleh Dialektis.co, Kamis (9/12/2021).
Apabila dibedah isi UU HPP, lanjut dia, di dalamnya membahas enam materi pokok yang mengubah beberapa ketentuan, diantaranya Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Barang Mewah (UU PPN & PPnBM), Undang-undang Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan Pajak Karbon.
Dalam UU KUP dibahas terkait penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi.
Tujuan dari pemberlakuan NIK sebagai NPWP ialah integrasi basis data kependudukan, dengan sistem administrasi perpajakan guna mempermudah Wajib Pajak Orang Pribadi, melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.
Namun, bagaimana jika si pemilik NIK tersebut belum memiliki penghasilan?
Tenang saja, kata Hanis, sebab basis data hanya akan terintegerasi ketika si pemilik NIK sudah memenuhi syarat subjektif maupun objektif.
“Jadi jika belum memenuhi maka orang tersebut tidak memiliki kewajiban perpajakan. Sebaliknya, jika si pemilik NIK sudah memenuhi kedua syarat tersebut maka DJP dapat mengaktifkan NIK menjadi NPWP secara Jabatan. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu repot mengurus pendaftaran kartu NPWP lagi,” bebernya.
Ditambahkan Hanis, para pelaku Usaha Kecil Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga menjadi sasaran dari pengesahan UU HPP ini.
Ekonomi yang belum stabil akibat adanya pandemi Covid-19 ini, menyulitkan pelaku UMKM untuk dapat melanjutkan bahkan mengembangkan usahanya, ditambah kewajiban harus menyetor 0,5% dari omzet/peredaran brutonya ke kas negara.
Dengan mempertimbangkan hal itu, pemerintah memberikan keringanan bagi para pelaku UMKM dengan melakukan reformasi terhadap PP 23 Tahun 2018.
Mulai 1 Januari 2022, para pelaku UMKM yang memiliki omzet/peredaran bruto di bawah 500 juta tidak lagi dikenakan pajak dengan tarif 0,5%. Tarif pajak 0,5% akan dikenakan apabila omzet/peredaran bruto telah mencapai 500 juta.
“Selain berlaku bagi UMKM, UU HPP juga berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi,” terangnya.
Dijelaskan Hanis, pada awalnya, Orang Pribadi akan dikenai tarif pajak 5% apabila memiliki penghasilan dengan rentang sampai dengan 50 juta, kini rentang tersebut diperlebar menjadi sampai dengan 60 juta.
Selanjutnya, Orang Pribadi yang memiliki rentang penghasilan sampai dengan 500 juta kini tarifnya diturunkan menjadi 25%, dan untuk Orang Pribadi yang berpenghasilan sampai dengan 5 miliar akan dikenakan pajak sebesar 30%.
Tarif tertinggi yang dikenakan yaitu sebesar 35% untuk Orang Pribadi dengan penghasilan di atas 5 miliar.
Berbeda dengan UU PPh, tarif PPN yang semula sebesar 10% sejak adanya reformasi UU HPP kini tarifnya naik menjadi 11% per 1 April 2022.
Selain tarifnya naik, beberapa kelompok barang yang sebelumnya bukan merupakan objek PPN, terdapat beberapa kelompok barang yang menjadi objek PPN atau Barang Kena Pajak (BKP)/ Jasa Kena Pajak (JKP), diantaranya barang hasil pertambangan atau pengeboran, barang kebutuhan pokok rakyat banyak, dan berbagai kelompok jasa.
“Jangan khawatir karena barang eks-BKP dan eks-JKP akan diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN yang diberikan secara selektif dan terbatas,” tuturnya.
Salah satu materi dalam UU HPP yaitu Program Pengungkapan Sukarela (PPS), kata Hanis, yaitu program yang bertujuan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan untuk meningkatkan penerimaan negara.
”Dalam program ini, DJP memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melaporkan, atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela. Program ini akan dilaksanakan selama 6 bulan, yang dimulai pada 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Dengan begitu, program baru ini akan membantu meningkatkan penerimaan negara,” jelasnya.
Sementara pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup, terangnya.
Wajib Pajak yang menjadi Subjek Pajak Karbon ialah Orang Pribadi atau Badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak atas karbon akan diberlakukan mulai 1 April 2022.
Hanis berharap, dengan disahkannya UU HPP ini dapat memudahkan dan meringankan para Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Perubahan ini juga diharapkan dapat menjadi titik terang bagi para Wajib Pajak di tengah pandemi Covid-19, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial bagi masyarakat Indonesia.
“Pengesahan UU HPP ini juga diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan,” harapnya.
Hanis menyebut, jika ada masyarakat yang penasaran dengan pembahasan lengkap dari UU HPP, dapat mendaftarkan diri dalam acara yang diselenggarakan oleh KPP Pratama Bontang “Sosialisasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)” yang akan dilaksanakan pada (Kamis, 9/12) pukul 09.00 sampai dengan 11.00 WITA.
Sebagai bentuk pencegahan atas penularan penyebaran Covid-19, acara diselenggarakan secara daring melalui Zoom Cloud Meetings. Untuk registrasi dapat diakses melalui tautan bit.ly/HPP724. (*)
Discussion about this post