DIALEKTIS.CO – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) secara resmi melayangkang gugatan keterbukaan informasi publik, melawan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia.
Dalam gugatannya JATAM mendesak Kementrian ESDM untuk membuka salinan dokumen Kontrak Karya 5 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) di Pulau Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 hingga 2025.
Catatan perkembangan diskusi pemerintah tentang evaluasi perpanjangan izin dan kontrak. Rekaman dan atau Notulensi rapat pemerintah tentang proses evaluasi terhadap izin yang mengajukan perpanjangan izin dan kontrak.
Serta, daftar nama, profesi dan jabatan, pihak-pihak serta Lembaga mana saja yang terlibat dan diundang dalam evaluasi perpanjangan dalam mengevaluasi kontrak PKP2B yang akan berakhir.
Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional, Muhammad Jamil menduga sejumlah perusahaan tambang tengah memanfaatkan kondisi pandemi dengan berbondong-bondong mengajukan perpanjangan izin dan kontrak.
Terlebih upaya mereka tersebut dimungkinkan dengan telah disahkannya dua regulasi bermasalah. Yakni, revisi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker).
Sebutnya, pada November 2020 lalu, PT Arutmin diberikan perpanjangan otomatis, tanpa pengawasan dan partisipasi publik.
Kini PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT ADARO, PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA) dan PT Kendilo Coal Indonesia juga sedang melakukan hal serupa, yakni mengajukan perpanjangan izin dan kontrak kepada Kementerian ESDM.
Kelima perusahaan batubara ini di dalam UU Minerba dan UU Ciptaker mendapatkan sejumlah fasilitas mulai dari dijaminnya perpanjangan otomatis menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2 X 10 tahun.
Regulasi ini juga memberi insentif berupa tidak ada kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti nol persen (0%) bagi perusahaan batubara yang membangun fasilitas hilirisasi batubara.
“Catatan JATAM Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta,” ujarnya.
Dinamisator JATAM Kaltim Pradarma Rupang menilai perpanjangan tanpa pengawasan dan partisipasi publik akan membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, apalagi batubara adalah biang kerok utama dari pemanasan iklim global.
Kata Rupang, JATAM Kaltim merasa memiliki legal standing atau posisi dan dasar hukum karena seperti yang tercantum pada pasal 10 UU Minerba Nomor 3 tahun 2020 di jelaskan mengenai peran dan partisipasi masyarakat dalam wilayah pertambangan.
Dinyatakan bahwa penyusunan dan penetapan wilayah pertambangan harus diselenggarakan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab bahkan terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan dengan memperhatikan aspirasi daerah.
“Dari data-data yang kami minta tersebut dapat diketahui apakah pemerintah sudah melibatkan partisipasi masyarakat terdampak, siapa saja yang dilibatkan dan diundang dan bagaimana prosesnya serta apakah sudah memperhatikan aspirasi daerah,” ujar Pradarma Rupang.
“Kami sedang menjalankan tugas warga negara yakni berpartisipasi secara aktif dalam perbaikan tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara, apalagi yang menanggung dampak dari perpanjangan ini kelak adalah warga Kalimantan Timur,” lanjut Pradarma Rupang.
Terangnya, data-data dan proses perpanjangan kontrak perizinan perusahaan pertambangan batubara yang akan berakhir mestinya dibuka pada publik sebagaimana amanat dalam Konstitusi Pasal 28C dan 28F Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP 14/2008).
“Setiap warga Negara memiliki hak untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik, terlebih lagi jika berkaitan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak,” sebutnya.
Menurutnya keputusan publik ini mencakup kontrak pengelolaan kekayaan alam Indonesia, dalam hal ini pertambangan Mineral dan Batubara, karena kontrak tersebut memiliki dimensi publik, sehingga masuk dalam kategori keputusan publik yang seharusnya dibuka dan melibatkan partisipasi publik secara luas.
JATAM Nasional dan JATAM Kaltim juga memiliki sejumlah catatan jejak buruk pada kesejahteraan masyarakat setempat atau terhadap keberlangsungan lingkungan hidup di sekitar wilayah pertambangan khususnya kelima perusahaan tambang PKP2B yang akan habis masa berlakunya, mulai dari merubah bentang alam, merusak sumber air, tindak kekerasan, kriminalisasi, merampas tanah, menggusur lahan masyarakat adat, menyembunyikan Informasi publik dan penuh jejak korupsi.
Sebelumnya JATAM Kaltim melayangkan surat keberatan informasi yang kemudian ditanggapi dan dijawab oleh Menteri ESDM RI melalui surat nomor: 1478/05/SJN.I/2020 Perihal: Jawaban Atas Keberatan Permohonan Informasi Publik tertanggal 12 November 2020. Dalam surat jawaban Menteri ESDM RI tersebut pada poin ke 3 menyatakan:
Permohonan permintaan (1) Kontrak PKP2B; (2) Dokumen rekaman dan atau catatan tertulis notulensi evaluasi pengajuan perpanjangan Kontrak PKP2B; (3) Dokumen evaluasi pengajuan perpanjangan Kontrak PKP2B dan (4) Daftar nama, profesi dan jabatan serta Lembaga mana saja yang terlibat dalam evaluasi perpanjangan Kontrak PKP2B yang terkait dengan perusahaan PT. Kaltim Prima Coal (PT.KCP), PT. Multi Harapan Utama (PT.MHU), PT. Berau Coal (PT.BC), PT. Kideco Jaya Agung (PT.KIA), PT. Arutmin, dapat kami sampaikan bahwa dokumen-dokumen atau substansi yang terkandung dalam dokumen dimaksud termasuk ke dalam informasi yang dikecualikan.
“Karena itu permohonan Informasi terhadap Menteri ESDM RI ini akhirnya menemui jalan buntu dan dilanjutkan dalam proses pengadilan karena Menteri ESDM tidak memberikan informasi yang dimohonkan dengan menyatakan bahwa informasi yang kami minta dikecualikan,” ujar Pradarma Rupang. (*)
Discussion about this post