DIALEKTIS.CO – Urusan perubahan iklim kerap diabaikan, padahal fenomena ini wajib menjadi perhatian. Wajar demikian, sebab imbasnya ke masyarakat begitu beragam.
Mulai dari banjir, musim kemarau, peningkatan suhu, tanah longsor, menipisnya bahan makanan, kemiskinan dan untuk tahapan paling ekstrem ialah kematian.
Persoalan bahaya laten akibat perubahan iklim pun sudah ditelaah oleh lusinan peneliti dunia. Mereka mengamati kematian akibat panas di 732 kota di seluruh dunia sejak 1991-2018, termasuk di Indonesia. Khusus Indonesia riset tersebut dipublikasikan dalam jurnal Lancet Planetary Health.
Salah satu penulisnya ialah Ike Anggraeni dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman, Samarinda. Riset ini disponsori oleh University of Washington Population Health Initiative.
Garis besar dari penelitian tersebut menyatakan jika deforestasi di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, terbukti telah meningkatkan suhu maksimum harian rata-rata hampir satu derajat celsius dalam 16 tahun.
“Perubahan suhu didorong deforestasi inilah yang berkontribusi kepada peningkatan penyebab kematian hingga 8 persen,” ujar Ike Anggraeni dalam seminar daring yang didukung AJI Samarinda bersama Google News Initiative (GNI) pada Rabu siang, 18 Mei 2022.
Kendati demikian, lanjutnya, hingga kini Ike dan kawan-kawan belum menemukan kasus kematian di Berau, karena peningkatan suhu secara langsung.
Hanya saja imbas dari fenomena perubahan iklim tersebut sudah terjadi seperti pingsan karena panas, kelelahan hingga kram. Dan itu dirasakan oleh sebagian pekerja.
Kondisi yang terjadi Bumi Battiwakal ini memang menarik perhatian para peneliti.
“Alasannya, dunia membutuhkan 150 tahun untuk menghangat hingga 0.9 0 celsius, sementara Berau hanya memerlukan waktu 16 tahun,” imbuhnya.
Sayangnya, penelitian dari Ike dan kawan-kawannya ini belum mendapat atensi dari Pemprov Kaltim. Besar harapan riset tersebut ditelaah lebih lanjut karena saat ini pemprov juga sedang fokus dengan mitigasi perubahan iklim lewat Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua DDPI Kaltim, Prof Daddy Ruhiyat menerangkan, dari hasil Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Kaltim sepanjang 2010-2020 diketahui jika sektor kelapa sawit menjadi penyumbang terbesar deforestasi di Benua Etam sebanyak 51 persen.
Disusul hutan tanaman industri atau timber plantation, sebanyak 14 persen, lalu sektor pertambangan 10 persen sedangkan pembalakan liar atau illegal logging menyumbang 6 persen.
Masih dari data sama, sepanjang 2007-2016, lahan yang sudah mengalami deforestasi di Kaltim sudah mencapai 1.140.536 hektare (ha) atau 114.053 ha per tahun. Itu sebab, DDPI Kaltim gencar melakukan kampanye perubahan iklim serta pengarusutamaan pembangunan hijau.
“Isu perubahan iklim ini sendiri sudah dimasukkan ke dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),” terangnya.
Nah, salah satu program unggulan yang digarap DDPI Kaltim untuk penurunan emisi dari deforestasi ialah Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF). Adapun beberapa langkah yang sudah dilakukan seperti perbaikan tata kelola hutan serta lahan, perbaikan administrasi dan supervisi hutan, pengurangan laju deforestasi, serta peningkatan mata pencaharian alternatif yang lestari untuk masyarakat.
“Kaltim menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang mengimplementasikan program FCPF-CF sejak Oktober 2015,” tuturnya.
Sementara itu, Anggota Majelis Etik AJI Samarinda, Edwin Agustyan mengakui jika media arus utama memang jarang memberitakan perubahan iklim. Sehingga wajar bila publik tidak mengetahui fenomena tersebut.
Bahkan, tak sedikit yang mengaitkan urusan climate change ke arah mitos dan mistis. Di sinilah media seharusnya mengambil peran penting dalam menyiarkan fakta dan membantu publik.
“Media bisa menjernihkan isu dan membantu publik memahami perubahan iklim lewat pengalaman yang dekat di kehidupan nyata. Dengan demikian masyarakat sebagai pembaca bisa mengambil sikap,” pugkasnya. (*)
Discussion about this post