DIALEKTIS.CO – Sikap gencar pemerintah mempromosikan untuk berinvestasi di Ibu Kota Nusantara atau IKN kepada negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN menuai kritik dari sejumlah kelompok masyarakat sipil. Diantaranya, JATAM Kaltim, JATAM Nasional, Forest Watch Indonesia, Rujak Center for Urban Studies, dan AMAN Kalimantan Timur.
Sebelumnya diwartakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa KTT ASEAN yang diselenggarakan di Jakarta akan menghasilkan 93 komitmen investasi antara negara anggota dan mitra ASEAN. 93 proyek kerjasama itu diperkirakan bernilai sebesar US$38 miliar dan ada 73 proyek potensial sebesar US$17,8 miliar.
Sejalan dengan dorongan pemerintah untuk kerjasama investasi dalam KTT ASEAN, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) menyatakan bahwa mayoritas investor yang berminat berinvestasi di IKN berasal dari negara ASEAN. Dikabarkan ada 2 perusahaan yang berkomitmen membangun 20 tower rumah susun di IKN. Sedangkan Singapura mencurahkan minatnya pada infrastruktur hijau, renewable energy dan pengolahan limbah.
Pemerintah mengklaim pengembangan IKN akan menggunakan konsep smart dan forest city yang menggunakan energi bersih dan terbarukan sebagai sumber listriknya. Hal ini digadang sebagai upaya pemerintah untuk memenuhi target net zero emission 2045 dan mengentaskan masalah krisis air dan pangan melalui desain kota yang berkelanjutan.
Menurut JATAM Kaltim, nyatanya, ada banyak rentetan masalah yang muncul di balik pembangunan IKN, tetapi di saat bersamaan pemerintah justru semakin gencar menggaet investor untuk proyek ibu kota baru Indonesia dalam perhelatan KTT ASEAN.
“KTT ASEAN ini menjadi momentum pemerintah mengobral ruang hidup di Indonesia lewat mega proyek IKN. Pertemuan ini disinyalir untuk menyedot sejumlah investor dari berbagai negara, terutama yang kaya seperti Cina, Singapura, dan Korea Selatan,”
“Karenanya, kita melihat bagaimana negara secara terang-terangan ingin menunjukkan mereka punya kuasa. Kita tahu IKN tak berdiri di atas ruang kosong, tetapi ada konsesi yang terhubung dengan pemerintah saat ini,” ujar Mareta Sari dari JATAM Kalimantan Timur.
Dia melanjutkan, untuk IKN pemerintah menjual ‘industri ramah lingkungan’ seperti nikel untuk mobil listrik, padahal ini akan menghancurkan kawasan lain. IKN digadang akan menggunakan konsep green city yang tak lagi pakai batu bara sebagai sumber energinya. Sayangnya proyek ini mencaplok ruang hidup masyarakat lain yang saat ini juga sedang tak baik-baik saja.
Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia mengatakan, klaim pemerintah bahwa IKN dibangun dengan konsep smart dan forest city patut dipertanyakan karena pembangunan IKN justru melakukan deforestasi besar-besaran.
“Dalam periode 2022 sampai Juni 2023 Forest Watch Indonesia mencatat ada deforestasi seluas 1.920,13 hektar. Terjadi juga pembukaan lahan juga seluas 16,9 ribu hektar untuk wilayah IKN. Ini belum menghitung wilayah di luar Kalimantan Timur, seperti Sulawesi karena untuk pembangunan ibu kota baru ini terjadi eksploitasi di mana-mana,”
“Pembangunan IKN merusak habitat, ekosistem, dan daerah jelajah satwa yang ikut terpotong akibat pembangunan jalan tol di IKN. Jadi, apakah ini pembangunan berkelanjutan,?” ujar Anggi.
Senada, Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies menyatakan dari segi desain tata ruang. IKN tidak bisa dikategorikan sebagai kota hutan dengan moda transportasi umum terintegrasi dan bebas emisi.
Pasalnya, desain tata ruang berorientasi pada istana negara baru yang mewah. Hunian bertingkat untuk ASN, dan jalanan yang diperkirakan dua kali lebih luas dari jalan di Jakarta. Ini menunjukkan kecenderungan pembangunan IKN untuk kendaraan pribadi.
Dengan jarak antar bangunan yang besar, maka perjalanan dari satu fasilitas ke fasilitas lain akan semakin jauh. Tata ruang yang tidak compact dan padat akan menciptakan jalanan yang jarak tempuhnya lebih panjang.
“Kalau mau memakai transportasi umum mileage-nya akan panjang dengan waktu tempuh yang lebih lama. 10 menit di IKN bisa saja mencapai 5-6 KM. Desain jalan, ruang, dan bangunannya berkebalikan dengan basis transportasi massal,”
“Saya yakin mereka akan kembali dengan rancangan yang sama seperti Jakarta, contohnya bisa dilihat pada pembangunan Kebayoran Baru. Karena jalan terlalu lebar maka kembali lagi ke kendaraan pribadi. Apalagi pemerintah ada iming-iming electric vehicle (EV) dan ASN disuruh menggunakan itu. Kita tahu sendiri kan asal energi dari EV itu,” jelas Elisa.
Perlu diketahui industri kendaraan listrik bukanlah solusi hijau karena melakukan pembongkaran cadangan nikel dari wilayah Pulau Sulawesi, Maluku Utara, dan pulau-pulau kecil di ujung kepala Papua. Alih-alih menjadi solusi, kendaraan listrik telah menciptakan kerusakan baru di wilayah Timur Indonesia.
Ancam Ruang Hidup Masyarakat Adat
Pembangunan IKN berdiri di atas bentang alam seluas 256.000 hektar yang terdiri dari berbagai proyek kolosal, seperti mega proyek sumber daya air dan jaringan pipa transmisi yang pendukungnya berada di kawasan Sungai Sepaku dan Sungai Mentoyok di Kecamatan Sepaku Lama, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
JATAM Kaltim mencatat terdapat sembilan modus perampasan lahan oleh negara untuk memfasilitasi proyek sumber daya air di kecamatan Sepaku Lama.
Salah satunya skema pembebasan lahan seperti yang dilakukan untuk Proyek Strategis Nasional lainnya di Indonesia, yaitu membawa masyarakat yang menolak ke meja pengadilan untuk dipaksa menerima tawaran pembebasan lahan.
Laporan “Nyapu: Bagaimana Perempuan dan Masyarakat Adat Balik Mengalami Kehilangan, Derita, dan Kerusakan Berlapis Akibat Megaproyek Ibu Kota Baru Indonesia” dari JATAM Kaltim, Bersihkan Indonesia, PuSHPA, dan AMAN Kaltim menemukan bahwa suku Balik di Sepaku Lama, Mardian, Pemaluan, dan Mentawir menjadi korban penjajahan berlapis akibat pembangunan tersebut.
Keberadaan suku Balik di Sepaku Lama, Maridan, Pemaluan dan Mentawir terancam tergusur. Ikatan batin dan historis yang tumbuh melalui peran mereka pada penamaan wilayah sosial dan ekologis seperti Sungai Sepaku, Semoi dan Mentoyok akan terputus. Bahkan ikatan pengetahuan kebudayaan, sosial, ekonomi dan situs-situs sejarah terancam punah di bawah gempuran mega proyek IKN.
Lenyapnya hutan dan ladang beserta tanaman endemik lainnya tak sekadar mengancam sumber penghiduan, tetapi sumber dari perkakas ritual penyembuhan adat ”Mulung” yang membutuhkan syarat Sepatung Jatus atau 100 jenis jenis kayu dan tanaman.
Tidak hanya masyarakat adat, masyarakat transmigran dan perantau juga ikut terancam. Pasalnya, lahan mereka menjadi sasaran penguasaan lahan untuk berbagai proyek infrastruktur.
Perlu menjadi catatan, perjalanan warga transmigranmembangun kehidupan dari Pulau Jawa lalu ke Sepaku dengan membuka hutan dan mengolah tanah akan menjadi sekadar cerita saja. Relasi masyarakat dengan sumber air dan sungai hingga pendapatan ekonomi juga akan ikut terganggu.
“Wilayah yang dijadikan IKN bukan ruang kosong, tapi rumah untuk masyarakat adat. Mereka tidak dilibatkan penuh dalam perencanaan pemindahan ibu kota hingga pembangunan IKN. Sejak awal mereka tidak diberi kesempatan untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas proses pembangunan IKN,”
“Ini menjadi penyangkalan terhadap keberadaan dan hak-hak milik masyarakat adat dan komunitas lokal di sana. Akibatnya, akses ruang hidup, tradisi, kebudayaan, hingga situs-situs sejarahnya terancam hancur seiring dengan pembangunan IKN. Belum ada regulasi yang melindungi dan menetapkan hak untuk masyarakat adat, ada kekosongan hukum di sini,” jelas Saiduani dari AMAN Kalimantan Timur.
Mareta juga menambahkan bahwa tak ada transparansi atas dokumen-dokumen pembangunan IKN. Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak transparan dalam memberikan akses untuk dokumen teknis pembangunan prasarana intake dan jaringan pipa transmisi Sungai Sepaku, izin penggunaan sumber daya air bendungan hingga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek.
“Pemerintah Indonesia beralasan jika dokumen tersebut diberikan kepada public dapat merampas Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dan mengganggu persaingan usaha. Namun sebaliknya, hal ini justru adalah skandal terhadap transparansi dan akuntabilitas global, menunjukkan proses ibu kota baru ini justru dimulai dengan kejahatan informasi,” ujarnya.
Imam Shofwan dari JATAM Nasional mengatakan, ketika pemerintah mengujarkan jargon ASEAN Epicentrum of Growth, padanan kalimat yang lebih tepat ialah Epicentrum of Crisis.
“Banyak hal negatif yang muncul. Presiden Jokowi memang bermanis-manis di hadapan pemimpin dunia dengan mengatakan ‘no one is left behind’, tapi kenyataan di lapangan orang-orang termarjinalkan justru ditinggalkan, dilupakan, dan dikorbankan,” pungkasnya. (*)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan klik link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join. Agar lebih mudah install aplikasi telegram dulu di ponsel Anda.
Discussion about this post