DIALEKTIS.CO – Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bontang, Sigit Alfian menyampaikan pihaknya akan terus berupaya menggali setiap potensi guna mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hal itu dilakukan guna mewujudkan kemandirian fiskal daerah, sehingga nantinya dapat menopang keuangan APBD Kota Bontang yang berujung pada percepatan pembangunan di tengah masyarakat.
Kata dia, salah satu potensi PAD yang tengah diupayakan ialah pendapatan dari Pajak Bumi Bangunan (PBB) dari area industri Badak LNG.
Sigit menyebut, ada sekira Rp 65 Miliar per tahun potensi PAD rutin dari sektor PBB yang harusnya dapat diraih dari kawasan industri tersebut.
Baca juga: Kemandirian Fiskal Penting Bagi Daerah, Bapenda Optimis Gali Potensi PAD
“Kita terus upayakan, PBB mereka harusnya tidak disetor ke pusat lagi. Menjadi hak daerah,” ujarnya saat bincang dengan redaksi dialektis.co.
Terangnya, bila merujuk pada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, ia menilai harusnya PBB perusahaan penghasil gas alam itu masuk dalam sektor perdesaan dan perkotaan, atau dikenal dengan PBB-P2.
Sehingga dibayar ke daerah. Sebab PBB-P2 adalah pajak atas bumi atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Sementara hingga kini, perpajakan selalu merujuk pada pendirian perusahaan disebut kontrak karya Indonesia dengan asing.
Dengan demikian PBBnya selalu dimasukkan ke Sektor Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan (PBB-P3/P5). Maka dianggap bagian dari sektor industri hulu dan pajaknya dibayarkan di pusat.
Praktis Bontang hanya menerima dari dana bagi hasil (DBH). Sementara, jika PBB-P3/P5 diubah menjadi PBB-P2, pajak perusahaan tersebut dapat menjadi sumber PAD rutin Kota Bontang.
Baca juga: Sosialisasi Pajak Daerah, Bapenda Ajak Pedagang Ikut Bangun Bontang
“2018 kontrak karya Badak dengan asing kan sudah berakhir, sekarang sudah jadi asetnya negara (Pertamina). Nah dengan itu sudah menjadi ranahnya UU 28, karena jelas disebut pabrik termasuk implasemen-nya, menjadi pajak PBB P2,” tegasnya.
Untuk memuluskan hal itu, perlu segera dilakukan revisi Perda Bontang tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan merujuk UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Utamaya terkait penafsiran Pasal 77, 85 dan sejumlah Pasal lain yang nantinya akan dipertegas dalam Perda.
Pihaknya tengah menjadwalkan untuk menggelar diskusi dan workshop dengan menghadirkan sejumlah pihak termasuk dr.Fatih dari UGM yang disebut salah satu penyusun UU 28 tersebut.
Bahkan, sebutnya, jika nantinya dalam jalannya workshop tersebut pemahaman Bapenda tidak keliru, dalam menafsirkan akan diperoleh potensi PAD rutin lainnya yang jumlahya ditaksir mencapai Rp 600 Miliar per tahun dari sektor retrebusi daerah BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). (Yud/DT).
Discussion about this post