DIALEKTIS.CO – Aliansi Akademsi Tolak Omnibus Law menyerukan penolakan terhadap pemberlakuan Undang-undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, beserta seluruh aturan turunannya.
Hal itu dilakukan menyusul telah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan uji formil terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Putusan MK itu dinilai memberikan penegasan tentang prosedur ugal-ugalan dalam proses pembentukan Undang-undang.
Pemerintah dan DPR dinilai telah melakukan penyimpangan terhadap tata cara pembentukan UU sebagaimana yang diatur dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jalan pintas pembentukan UU (fast track legislation) yang menghalalkan segala cara, tengah dipertontonkan hanya untuk memuaskan kepentingan investasi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menyatakan dikabulkannya uji formil ini ex-officio juga turut membatalkan substansi atau materi UU a quo secara keseluruhan.
“Ibarat Salat, jika wudu-nya tidak benar, maka batal pula salat-nya. Maka tidak mengherankan jika MK pada akhirnya menolak keseluruhan uji materi UU a quo, sesaat setelah uji formil UU a quo dikabulkan,” ujarnya.
Kata dia, putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR harus tunduk terhadap seluruh amar putusan MK.
Namun anehnya, Presiden justru memberikan tafsir berbeda terhadap amar putusan MK tersebut, tanpa merujuk kepada keseluruhan makna putusan MK sebelumnya, khusunya yang berkaitan frase “inkonstitusional bersyarat”.
Bahkan Presiden secara terbuka memberikan pernyataan jika UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya tetap dapat dijalankan tanpa terpengaruh oleh putusan MK tersebut.
Menurutnya pernyataan Peesiden cenderung menyesatkan publik yang mesti diluruskan. Pernyataan yang seolah menjadi jaminan para investor dan kelompok oligarki yang berkepentingan terhadap UU a quo.
Jelasnya, penafsiran inkonstitusional bersyarat (conditionaliy unconstitutional) sendiri, dijelaskan oleh MK dalam putusannya Nomor 4/PUU-VII/2009.
Dalam putusan a quo, MK berpendapat bahwa inkonstitusional bersyarat adalah tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh MK.
Oleh karena itu, dalam putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan untuk melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan, adalah syarat mutlak agar UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dapat dinyatakan konstitusional.
Dengan demikian, UU a quo adalah inkonstitusional pada saat putusan dibacakan dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK, dalam hal ini Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU.
Oleh karenanya, berdasarkan putusan MK tersebut, maka keberlakuan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja beserta seluruh aturan turunannya, harus ditangguhkan sampai syarat konstitusionalitasnya terpenuhi.
Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam amar putusan MK, yang menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Sementara makna strategis dan berdampak luas sendiri diuraikan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 4 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang pada initinya mencakup 11 klaster yang diatur dalam UU a quo beserta aturan pelaksananya.
“Untuk itu, keberlakuan aturan pelaksana dari UU a quo juga harus ditangguhkan, hingga dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun,” pungkasnya. (Yud/DT).
Discussion about this post