Dialektis.co – SMPN 3 Bontang mulai menerapkan metode Problem-Based Learning (PBL) sebagai salah satu strategi pembelajaran di sekolah.
Metode ini diharapkan mampu mendorong siswa untuk lebih kritis dan mandiri dalam menyelesaikan masalah, sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 3, Rahayu Novita.
“PBL ini bagus karena mengasah daya nalar siswa untuk berpikir terlebih dahulu sebelum mendapatkan penjelasan dari guru. Ini sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka,” kata Rahayu saat dikonfirmasi belum lama ini.
Namun, menurutnya, penerapan PBL di kelas tidak selalu mudah. Salah satu tantangan utama yang dihadapi guru adalah mengaktifkan siswa agar lebih terlibat dalam proses pembelajaran.
Kata dia, memantik semangat berpikir anak-anak sekarang tidak mudah. Lantaran mereka terbiasa dengan segala sesuatu yang instan, termasuk dalam mendapatkan informasi.
Banyak yang lebih memilih mencari jawaban di internet daripada bertanya atau berusaha berpikir kritis.
Selain itu, Rahayu juga menyoroti bahwa literasi di kalangan siswa masih menjadi masalah.
“Banyak anak yang bisa membaca, tetapi tidak memahami makna dari apa yang mereka baca. Ini menjadi salah satu alasan mengapa literasi di Indonesia tergolong rendah,” lanjutnya.
Meski begitu, Rahayu menegaskan bahwa sebagai guru, mereka harus terus mendorong siswa untuk berpikir kritis, meskipun prosesnya memerlukan kreativitas dan upaya lebih.
“Guru dituntut kreatif dalam memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bisa memacu daya nalar siswa. PBL ini juga memiliki keunggulan karena tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai tujuan pembelajaran,” paparnya.
Dalam penerapan PBL, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan solusi atas masalah yang diberikan.
Ia menjelaskan, metode tersebut berbeda jauh dengan pembelajaran konvensional yang sentralistik pada guru.
Pada pembelajaran metode konvensional, guru merupakan pusat pengetahuan. Sementara siswa hanya menerima apa yang diberikan.
Berbanding terbalik dengan metode PBL, guru hanya memfasilitasi dan mengarahkan, bukan menjadi sumber utama informasi.
Lebih lanjut, Rahayu menilai bahwa perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa sangat bergantung pada individu dan dukungan dari lingkungan sekitar, termasuk orang tua.
“Sebagai guru, kita hanya punya peran sekitar 40 persen untuk membimbing mereka. Sisanya adalah kontribusi dari keluarga dan lingkungan,” tambahnya.
Dengan metode PBL, SMPN 3 berharap siswa tidak hanya mampu memahami materi pelajaran, tetapi juga mampu mengolah informasi dengan benar, kritis, dan analitis.
“Tujuan akhirnya adalah agar siswa bisa mengolah informasi yang sesuai dengan fakta dan data, bukan sekadar menerima informasi mentah,” tutupnya. (*).
Penulis : Mira
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan bergabung saluran Dialektis.co WhatsApp atau telegram di link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join.
Discussion about this post