DIALEKTIS.CO – Momentum kemerdekaan republik Indonesia ke-77 patut dirayakan semegah-megahnya. Namun, dibalik itu kita juga patut untuk menilik ulang apakah kita sudah benar-benar merdeka.
Ada sebagian pekerja/buruh yang belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan. Di mana mereka sejauh ini belum diakui sebagai pekerja/buruh dan diberikan payung hukum yang melindunginya sebagai pekerja/buruh.
Dengan semangat kemerdekaan, pekerja
rumahan ini ingin terbebas dari kerentanan dan eksploitasi pekerjaan akibat kerugian konstitusional di zaman modern.
Untuk itu, pekerja rumahan mengajukan Pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Mahkamah Konstitusi.
Hal ini ditempuh sebab, pekerja rumahan masih harus menempuh jalan panjang untuk mendapatkan pengakuan bahwa dirinya adalah pekerja yang rentan dan memiliki hak yang layak untuk diperjuangkan. Pekerja rumahan memiliki beberapa permasalahan yang dihadapi karena Undang-Undang.
Diantaranya adalah ketidakpastian keberlangsungan pekerjaan, menerima upah dibawah standar, tidak adanya jaminan sosial, jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 75/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muhayati, Een Sunarsih, Dewiyah, Kurniyah, dan Sumini.
Mereka mewakili pekerja rumahan lainnya yang ada di Indonesia untuk permohonan uji materiil terhadap Pasal 1 Angka 15 dan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pekerja rumahan sering tidak dianggap memiliki hubungan kerja sehingga pemenuhan haknya terbengkalai. Bahkan istilah pekerja rumahan belum banyak dikenal di masyarakat. Pun, pekerja rumahan masih disamakan dengan pekerja rumah tangga (PRT).
Meski sama-sama berjuang untuk perlindungan pekerja informal, mengenal kompleksitasnya masing-masing menjadi penting untuk memberi dukungan dan advokasi yang tepat.
Pekerja rumahan sudah melakukan dua kali sidang di Mahkamah Konstitusi. Pertama, pada Senin 1 Agustus 2022 telah dilakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Kedua, pada Senin 15 Agustus 2022 juga telah dilaksanakan sidang perbaikan permohonan.
Kedua sidang ini dilakukan secara daring yang dipimpin oleh Manahan MP Sitompul selaku majelis hakim.
Direktur Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang menyebut bahwa advokasi ini ditempuh untuk memperjuangkan hak bagi para pekerja rumahan sebagai warga negara untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, dan perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang selama ini terabaikan.
Melalui permohonan Pengujian Undang-Undang ke MK, Pekerja rumahan sedang memperjuangkan hak konstitusionalnya yang dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 1 Angka 15 dan pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
“Hubungan kerja yang dimiliki oleh para pemohon selaku pekerja rumahan dengan pemberi kerjanya telah didasarkan pada perjanjian kerja, memuat unsur upah, perintah, dan pekerjaan, menunjukkan bahwa unsur unsur di dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Undang Undang Ketenagakerjaan telah terpenuhi, tidak diakui”, tutur Otang.
Lebih jauh, otang menjelaskan bahwa hanya karena pekerja rumahan dianggap tidak memiliki hubungan hukum dengan pengusaha, maka pekerja rumahan tidak dapat dianggap sebagai pekerja yang berada di dalam hubungan kerja.
Pun, pekerja rumahan kerap dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja di level Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
Sehingga, muncul kerugian nyata yang dialami oleh pekerja rumahan sebagai pekerja yang dikategorikan berada diluar hubungan kerja. Upah di Bawah Upah Minimum, Jaminan Sosial, Serta Ketiadaan Jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Pekerja rumahan tidak pernah mendapatkan upah sesuai ketentuan UMP yang berlaku di masing-masing daerah para pemohon.
Misalnya, pekerja rumahan yang berdomisili dan bekerja di wilayah Provinsi DKI Jakarta, mengerjakan pengeleman sol sepatu (alas kaki) mendapatkan upah sebesar Rp. 400.000,-/minggu atau Rp. 1.600.000/bulan, sedangkan UMP Prov. DKI Jakarta tahun 2022 adalah sebesar Rp. 4.573.845,-. Para pemohon tidak dapat memperoleh BPJS Ketenagakerjaan karena para pemohon tidak didaftarkan oleh pemberi kerja.
Adapun untuk BPJS Kesehatan, para pemohon tidak didaftarkan juga oleh pemberi kerja, sehingga karena pentingnya manfaat program BPJS Kesehatan, maka para pemohon mendaftarkan dirinya sendiri melalui kepesertaan mandiri yang iurannya dibayar sendiri (Rp.35.000,-/bulan) atau program penerima bantuan iuran (PBI), yang iurannya dibayarkan pemerintah yang berlaku bagi warga miskin.
Para pemohon harus menanggung sendiri biaya kesehatan (pengobatan), serta menanggung sendiri risiko kecelakaan kerja atau luka akibat pekerjaan karena ketiadaan fasilitas Alat Pelindung Diri (APD), dan juga resiko penyakit akibat kerja yang berbahaya seperti gangguan pernafasan, gangguan kesehatan reproduksi dll.
Digunakannya istilah pengusaha saja di dalam definisi hubungan kerja sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, tanpa memasukkan istilah pemberi kerja. Hal ini berarti, semakin sempit ruang lingkup perlindungan bagi warga negara yang bekerja dengan memberikan diskriminasi kepada pekerja di sektor informal.
Karena adanya batasan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang umumnya berada dalam sektor formal.
Hal ini merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar amanat konstitusi Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Sehingga pekerja yang bekerja kepada selain pengusaha, maka demi hukum dianggap tidak memiliki hubungan kerja, sehingga menimbulkan adanya diskriminasi hukum dan tidak adanya persamaan kedudukan di dalam hukum, khususnya perlindungan hukum yang berdasarkan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku.
Terlebih, saat ini trend informasilasi pekerjaan semakin meningkat sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab hukum perusahaan untuk memenuhi kewajibannya atas pemenuhan hak pekerja.
Pihak ketiga digunakan sebagai perpanjangan tangan, dengan mekanisme perintah ataupun kerjasama dengan sistem komisi untuk mendistribusikan pekerjaan.
Tanpa ia ketahui bahwa dirinya adalah pemberi kerja utama, dan menikmati hasil keuntungan atas hasil kerja yang dilakukan oleh pekerja rumahan. Hal ini berarti, hasil produksi yang diperoleh tetaplah sama, namun biaya produksi berkurang.
Implikasinya keuntungan meningkat. Praktik ini secara nyata memberikan gambaran akan ketidakadilan dan dapat mengarah ada praktek eksploitasi pekerja di zaman modern seperti saat ini.
Pengacara pendamping pekerja rumahan Wilopo Husodo menambahkan, Judicial Review ini menjadi penting sebab pasal 1 Angka 15 dan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengakui hubungan kerja berlaku bagi pekerja yang bekerja kepada pengusaha, sedangkan pekerja rumahan bekerja kepada seorang perantara selaku pemberi pekerjaan.
Melalui Judicial Review ini, harapannya permohonan pekerja rumahan ini dapat dikabulkan.
TURC juga mengajak kepada semua pihak untuk bersama-sama mengawal proses Judicial Review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai advokasi bagi pekerja rumahan. (*)
Discussion about this post