KEPALA Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bontang Sigit Alfian menyampaikan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) telah melalui pertimbangan mendalam.
Terlebih sejak penarikan PBB dilimpahkan dari pusat ke daerah sejak 2012 hingga 2018, nilai jual objek pajak (NJOP) Kota Bontang belum pernah naik. Padahal kenaikan NJOP itu mestinya dilakukan berkala, setidaknya tiga tahun sekali.
Dasarnya juga penyesuaian UU No 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah. Dengan peningkatan NJOP bukan hanya PBB yang meningkat namun juga harga jual tanah. Disampaikannya, tidak benar kenaikan NJOP tersebut menekan masyarakat.
Menurutnya, justru hal ini merupakan jalan tengah yang diambil Pemerintah Daerah guna menjalankan aturan, meningkatkan PAD dan disisi lain membantu meningkatkan nilai aset warganya.
“Selain itu, NJOP juga menjadi dasar appraisal (nilai) tanah saat masyarakat mau menjaminkan asetnya untuk modal,” ujar Sigit kepada dialektis.co, Rabu (21/10) Pagi.
Terlebih, kata dia. Dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK menilai bahwa kenaikan NJOP di Bontang itu penting. Yakni menjadi dasar perhitungan kenaikan harga lahan atau hal-hal yang terkait dengan tanah.
Lebih lanjut, Sigit menyakinkan penentuan kenaikan NJOP ini bervariasi. Perbedaan tersebut dipengaruhi area dan wilayahnya. Penelitian kajian akademiknya juga telah dilakukan oleh LP2M dari Universitas Mulawarman (Unmul), yang kemudian jadi acuan diterbitkan Perwali.
Dijelaskannya, seperti di daerah Bontang Lestari. NJOP yang tadinya rendah, sekira Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu. Sekarang paling rendah di angka Rp 103 ribu. Diakuinya kelipatannya meningkat tajam, namun ia menegaskan jika tidak dilakukan hal ini berbahaya dari sisi transaksi.
“Jika tidak dinaikkan malah jadi temuan BPK. Contoh, kita malah bisa dituduh mempermainkan harga jika ada pembebasan lahan. Sebab harga ngak bisa ngikuti nilai pasar, NJOP yang jadi acuan,” jelasnya.
Nanggapi keluhan hal ini berdampak terhadap kenaikan tarif PBB, Sigit menegaskan bahwa kenaikannya juga tidak signifikan. Ia merinci, PBB masyarakat saat ini rata-rata di angka Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu per tahun.
“Kalau saya biarkan, malah kena pasal pembiaran. Ini zaman 4.0, konsepnya kita mendorong membayar pajak semudah isi pulsa. Didalamnya juga menyangkut transparansi dan akuntabilitas, jadi yakin saja pajak yang dibayarkan sepenuhnya digunakan untuk membangun kota ini,” pungkasnya. (Yud/DT).
Discussion about this post