Oleh: Mirah Hayati*
WABAH ini sudah menyerang setahun belakangan, sejak 2019. Dari itu diberi nama COVID-19. Berbagai upaya sudah dilakukan semua elemen untuk membasminya. Bukannya pergi, malah seakan-akan kian betah berada di tengah-tengah masyarakat.
Penyakit ini datang, meluluhlantakkan semua sektor. Ekonomi paling anjlok. Nahas banyak gulung tikar. Terlebih pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Pemutusan Hak Kerja (PHK) merajalela. Sepihak ingin dimengerti. Keadaan mengharuskan.
Terburuk, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/Negara (APBD/N) terkena refocusing. Alias dipangkas. Entah apa hasil dari potongannya. Segitiga, segi empat atau bahkan bulat (mari sama-sama menerawang).
Bukan tanpa sebab, katanya untuk penanganan virus tak kasat mata ini. Mulanya semprot-semprot desinfektan di setiap sudut yang dianggap berpotensi menyebarkan corona. Lambat laun, kendor.
Upaya lainnya pengadaan vaksin. Menyasar pelayanan publik. Aparatur Sipil Negara (ASN), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ojek online, hingga tokoh agama.
Tapi, bagaimana pun COVID-19 tak bisa hilang. Ia dicari, melalui tracking. Pun pemerintah, satgas, bahkan semuanya mengimbau bagi yang habis perjalanan ke luar daerah wajib lapor.
Begitupun jika telah kontak dengan orang yang sudah jelas terkonfirmasi positif mesti laporan ke tim COVID-19. Agar cepat dapat penanganan.
Dari 3.708.936 jiwa (dikutip dari kaltim.bps.go.id) di kota yang memiliki 3 kecamatan 15 kelurahan ini, ada beberapa sadar, taat ikuti imbauan. Mereka melapor telah bertemu dan kontak dengan pasien yang sudah dinyatakan positif.
Akhirnya tahap demi tahap diikuti, rapid kemudian PCR. Ketika hasil keluar, ada yang dirawat intensif di Rumah Sakit. Ada juga hanya dianjurkan isolasi mandiri, atau biasa disebut isoman.
Parahnya, sudah taat tidak beraktifitas di luar, pekerjaan ditinggalkan tetapi seolah-olah pihak satgas tak ada beban, hanya sekadar disuruh karantina. Tak ada penanganan lanjut.
Pengawasan, perawatan tidak ada. Bahkan hanya sekadar memberi vitamin pun tak ada, lalu gunanya diperiksa apa. Apakah hanya sekadar tahu, kondisimu sedang tidak baik-baik saja meski fisikmu kuat, sehat. Kamu positif. Hanya sebatas itu? Apakah itu disebut lepas tanggung jawab?.
Bagaimana kalau yang positif ini tiba-tiba atau memang sudah bawaan memiliki penyakit lain. Maag, misalnya?. Apa yang harus dilakukan, konsumsi apa?
Apa bedanya isoman dengan dirawat intensif. Mereka sama-sama butuh penanganan. Yang isolasi di rumah sudah mengalah, tak di rawat, tak menambah kerjaan tenaga kesehatan. Tapi, bagaimana penanganannya?.
Bukankah ada anggaran COVID-19? Anggaran diprioritaskan dalam menangani COVID-19?. Penanganan yang bagaimana? Dilansir dari Bisnis.com dengan judul “Anggaran Covid-19 Tembus Rp130,03 Triliun, Sri Mulyani: Ini Setara 4 proyek MRT “. Besar bukan?.
Tak hanya itu, ada juga sudah menjalankan karantina setelah melakukan PCR. Menunggu hasil. Tapi, tak kunjung keluar. Entah positif atau negatif. Menurut saja, isoman. Aktifitas terbatas, pekerjaan juga terbengkalai. Dilema.
Katanya 3 sampai 4 hari. Tapi ada juga sudah lewat dari itu belum dapat informasi tentang keadaannya. Pun, ada juga tidak sampai 3 hari sudah tahu hasilnya. Ditumpuk atau diacak? Terus, bagaimana mereka yang duluan melakukan pemeriksaan. Sakitnya bukan karena COVID-19, tapi karena digantung.
Kita berusaha saling mengerti. Mengerti dengan kalian. Pekerjaan berat, harus berurusan dengan virus ini. Lalu, yang menunggu hasil bagaimana ? Sabar? Sudah. Yang terkonfirmasi positif tapi tidak dapat tindaklanjut? Plis, jangan hanya mau dimengerti.
*Penulis adalah Jurnalis aktif di Kota Bontang.
Discussion about this post