DIALEKTIS.CO – Teluk Dalam, nama kampung nelayan di pesisir kawasan pasang surut Dusun Temputu, Desa Marthadinata, Kutai Timur ini mungkin masih cukup asing di telinga publik.
Tak lebih 9 rumah panggung yang dihuni 11 Kepala Keluarga (KK) dan sekira 30 jiwa itu berdiri kokoh tepat di perbatasan pesisir utara Kota Bontang, menatap langsung hamparan laut Selat Makassar.
Wilayah terpencil ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kota Bontang, Kalimantan Timur. Dapat dituju dengan menggunakan kapal klotok hanya sekira 50 Menit dari Kampung Mandar Loktuan, atau 20 menit dari dermaga Guntung.
“Baru, Bapak-bapak ini dari media yang mengunjungi tempat tinggal kami,” kata Amir, Ketua RT 20.
Tampak perahu-perahu nelayan ditambat di dermaga kecil bergelayut seirama dengan gelombang. Kilau matahari melukis fatamorgana di permukaan air laut, Siang itu, Ahad (27/9/2021).
Meski cahaya matahari sedang terik-teriknya, perasaan sejuk tetap begitu terasa. Mungkin karena lokasinya begitu dekat dengan rimbunya hutan mangrove.
Siang itu tak terdengar suara adzan, Amir menceritakan pemukiman yang mereka diami belum dilengkapi rumah ibadah.
Sempat, salah satu tim lembaga amil zakat datang. Namun kegiatan pembangunan berhenti begitu saja, saat baru menancapkan beberapa tiang.
Amir sudah sekira 14 tahun dipercaya warga memimpin kampungnya.
Teluk Dalam, kampung ini mayoritas berasal dari warga yang berpindah dari Kampung Gusung dan beberapa nelayan tinggal berpindah-pindah di sekitar wilayah tersebut.
Seiring waktu warga mendirikan pondok-pondok kecil lalu berubah menjadi rumah hunian, yang semua penghidupannya bergantung dari hasil tangkap laut.
Namun, sebab hasil tangkap terus menurun lantaran kapal yang dimiliki hanya berukuran kecil. Sehingga tak dapat ke tengah laut, lantaran ombak dan cuaca yang semakin ekstrim.
“Yang pertama di sini Pak Haji Iyes orang Kutai dari Guntung. Dulu disini, kami 18 KK. Tapi banyak yang pergi karena tidak ada kemajuan kehidupan,” ujarnya.
Amir menceritakan saat ini warga tengah berupaya beralih jadi nelayan budidaya keramba seadanya. Jaring keramba dipasang di kolong-kolong rumah, namun pasang surut air sangat berpengaruh pada hasil budidaya mereka.
“Kami sih berharap suatu saat dapat bantuan untuk membuat keramba jaring apung, jadi hasil budidaya jadi maksimal dan kami yang tua-tua nggak perlu lagi melaut sampai ke tengah,” harapnya.
Di sisi lain, seorang warga menurunkan jeriken air satu-satu dari perahunya. Pria yang masih berkerabat dengan Amir itu tampak menghela nafas sembari menjinjing jeriken-jeriken ke dalam rumahnya.
Setiap dua hari warga harus membeli air dari daratan terdekat, di Guntung.
“1 jeriken diharga Rp 1.000, dulu PKT beri bantuan air bersih gratis di Gusung. Karena warga kelahi berebut air jadi dihentikan, kini kami beli di Guntung,” tuturnya.
Sebenarnya warga Teluk Dalam, sempat berharap besar dari program air bersih pemerintah setempat. Namun, sayangnya hingga rusak pipa dari daratan di wilayah itu tak kunjung dialiri air.
Kabar angin yang ia terima, mesin pompa di sumur air yang dicari di kawasan rawa mangrove. Telah rusak sebelum dioprasikan. Sebabnya di Teluk Dalam, air tawar jadi komoditi ‘Istimewa’.
Air hujan yang mereka tampung pun tak bisa dikonsumsi, lantaran tak dilengakapi dengan teknologi pemurnian. Hanya digunakan untuk bilasan terakhir saat mandi dan mencuci bahan makanan.
Air bersih yang minim itu memaksa warga harus terus berhemat. Pendapatan sebagai nelayan tangkap pun cukup untuk makan dan keperluan harian saja.
Belum lagi saat bicara akses internet di kawasan ini, jaringan seluler tak stabil. Perangkat tidak bisa berhenti di satu tempat dengan waktu yang lama, pengguna harus berpindah-pindah untuk mendapat sinyal yang baik.
Hal ini tentu menjadi kendala tersendiri untuk menerima kabar dari dunia luar. Terlebih bagi anak yang bersekolah, informasi yang diterima kerap tertinggal, terlebih saat pemberlakuan sekolah online.
“Kalau soal sekolah tetap kami usahakan antar pulang pergi, yang SD sekolah di Gusung, SMP di Guntung. Kalau yang SMA, terpaksa kami titip di darat karena jauh nggak mungkin bisa diantar tiap hari,” pungkasnya. (Yud/DT).
Discussion about this post