MESKI kerap menuai protes, DPR RI dan Pemerintah akhirnya tetap mengesahkan Onimbus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta kerja menjadi Undang-Undang (UU), Senin (5/10/2020).
Pengesahan regulasi tersebut dilakukan lewat mekanisme rapat paripurna. Pengesahan UU ini pun dengan mulus disepakati oleh mayoritas fraksi di DPR RI, tercatat hanya Fraksi PKS dan Partai Demokrat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja.
Baca juga: Dinilai Ugal-ugalan, Akademisi Tegas Tolak Onimbus Law UU Cipta Kerja
Berikut 5 poin dalam UU Cipta Kerja tersebut yang paling menjadi sorotan publik, lantaran dinilai tidak pro pekerja/buruh:
- Mempermudah perekrutan TKA
UU Cipta Kerja dinilai memberi kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA). Tepatnya pada Pasal 42, Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Sekaligus menganulir kentuan pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA harus mengantongi sejumlah perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
Dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, perizinan TKA dipermudah, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.
- Penghapusan Upah Minimum
Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja ini, maka tidak ada lagi pemberlakukan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP).
Hal ini menjadi poin yang paling menjadi sorotan Serikat Pekerja dan Serikat Buruh, sebab dinilai akan membuat upah pekerja jadi lebih rendah dan bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
- Jam Lembur Bertambah
Ketentuan jam lebur mejadi lebih lama dari ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 yakni kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu. Menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
- Kontrak Seumur Hidup dan Rentan PHK
Pasal 61 UU Cipta Kerja mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi dan pengusaha dinilai bisa mem-PHK pekerja kapan saja.
- Pemotongan Waktu Istirahat
Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, ayat 5, UU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun.
Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama. (*).
Discussion about this post