DIALEKTIS.CO – Badan Usaha Pelabuhan (BUP) PT Laut Bontang Bersinar (LBB) tengah redup. Didirikan sebagai pengganti Pelindo IV untuk mengelola Pelabuhan Loktuan, PT LBB terus dilanda permasalahan keuangan.
PT LBB berdiri 2021 melalui kongsi Perumda Aneka Usaha dan Jasa (AUJ) dan unit usahnya, PT Bontang Transport. Dengan Perumda AUJ sebagai pemegang saham mayoritas sebanyak 70 persen.
Sengkarut masalah di PT LBB ditengarai karena perusahaan dijalankan tidak secara transparan. Direksi dan manajemen diduga berkongsi untuk memanfaatkan aset dan fasilitas perusahaan demi kepentingan pribadi. Sedangkan pekerja justru mengalami keterlambatan gaji.
Pembayaran gaji karyawan selalu tersendat. Terbaru, gaji Agustus sampai Oktober 2024 baru dibayar pertengahan November 2024.
Lelah dengan kondisi ini, para karyawan melakukan pelaporan ke Dinas Ketenagakerjaan Bontang. Tujuannya, agar pihak terkait melakukan penelusuran penyebab gaji tertunggak.
Di tengah kondisi itu, para karyawan justru mendapatkan informasi jika uang operasional Direktur PT LBB, Muhammad Lien Sikin berlangsung lancar. Lien Sikin juga rajin melakukan perjalanan dinas dengan dalih pengembangan perusahaan.
Lien Sikin diketahui menjabat sebagai direktur PT LBB sejak 2022. Sebelumnya, Lien Sikin menduduki posisi sebagai manajer operasional Perumda AUJ.
Penunjukan Lien Sikin sebagai direktur anak usaha Perumda AUJ itu sempat menuai polemik. Ini tak lepas dari status Lien Sikin sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi di tubuh Perumda AUJ, yang ditetapkan Kejaksaan Negeri Bontang pada Juli 2021 lalu. Medio Oktober 2022, Kejaksaan Negeri Bontang mencabut status tersangka Lien Sikin. Kejaksaan berkilah, Lien Sikin telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp50 juta.
Pengangkatan Lien Sikin mendapat dukungan Wali Kota Bontang Basri Rase, sebagai ex officio Pemkot Bontang yang merupakan pemilik saham terbesar Perumda AUJ. Basri berdalih, pengangkatan Lien Sikin sebagai direktur tak terlepas dari perannya yang sangat besar dalam mewujudkan pendirian PT LBB. Lien Sikin juga dianggap Basri cukup berpengalaman dan berasal dari internal Perumda AUJ. Pun selama bekerja di Perumda AUJ, Basri mengklaim, jika kinerja Lien Sikin baik.
Kepada jurnalis media ini, orang dalam PT LBB menyebutkan jika perjalanan dinas terbaru Lien Sikin terjadi pada 27 Oktober hingga 3 November lalu. Dengan tujuan Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dia bercerita, dalam sebulan Lien Sikin bisa melakukan perjalanan dinas lebih dari tiga kali. Sekali melakukan perjalanan dinas, Lien Sikin disebut bisa menghabiskan anggaran berkisar belasan hingga puluhan juta rupiah.
Lien Sikin tidak hanya meminta uang perjalanan dinas, namun juga uang operasional direktur dengan nominal yang berbeda-beda. “Alasannya (minta uang operasional direktur) untuk pengembangan pelabuhan,” katanya saat ditemui awal November ini.
Berdasarkan laporan keuangan PT LBB yang dimiliki media ini, anggaran untuk biaya operasional direktur sepanjang 2022 mencapai Rp894,3 juta. Sementara pada 2023 mencapai angka Rp599,9 juta.
Biaya operasional juga dikeluarkan perusahaan untuk manajer keuangan sebesar Rp76,4 juta pada 2022 dan Rp38,4 juta pada 2023. Sedangkan biaya operasional untuk manajer operasional sebesar Rp28 juta pada 2022 dan Rp11,8 juta pada 2023.
Masih dalam laporan keuangan itu juga dilampirkan total biaya perjalanan dinas selama kurun 2022 sebesar Rp362,6 juta, sedangkan pada 2023 sebesar Rp466,9 juta.
Ditemui di salah satu kafe di bilangan Bontang Utara, Lien Sikin yang didampingi oleh Manajer Keuangan PT LBB Lasmi Mustafa, membenarkan adanya alokasi anggaran untuk operasional dirinya sebagai direktur. Ia mengklaim, pos anggaran tersebut telah disetujui oleh direksi yang dituangkan dalam Rencana Kerja Perusahaan (RKP). Yakni, setiap bulan direktur wajib menerima Rp50 juta untuk pengembangan dan pembiayaan operasional. “Aturan ini sudah sesuai SOP,” ujarnya, Jumat, 8 November 2024.
Lien Sikin mengklaim tindakannya tidak merugikan negara dan berpotensi korupsi. Dia mengaku selama memimpin PT LBB banyak uang maupun aset pribadinya yang digunakan untuk membiayai operasional perusahaan. Sementara sejak PT LBB berdiri tidak ada satu rupiah pun uang pemerintah di dalamnya.
Pun soal status kepemilikan PT LBB diakui Lien Sikin kini telah beralih menjadi perusahaan miliknya. Ini dibuktikan dengan akta perusahaan yang mencantumkan nama Lien Sikin sebagai pemilik tunggal. Akta perusahaan tersebut sempat diperlihatkan secara sekilas oleh Lien Sikin. Kendati demikian, Lien Sikin melarang media ini untuk mendokumentasikan akta tersebut.
Media ini mencoba mengecek profil perusahaan di situs Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) online, namun pencarian dengan kata kunci PT Laut Bontang Bersinar dan PT LBB tidak ditemukan. Kendati demikian, PT Laut Bontang Bersinar ditemukan dalam profil pemilik manfaat. Hanya saja, ada keterangan bahwa PT LBB belum melaporkan data pemilik manfaat.
Persoalan di tubuh LBB diakui Lien Sikin telah ditangani oleh Polres Bontang. Tetapi, saat ini Polres Bontang menyerahkan ke Inspektorat Daerah untuk melakukan audit internal. Meski mempertanyakan langkah Inspektorat yang ikut campur dalam persoalan ini, di tengah belum adanya penyertaan modal dari pemerintah, namun Lien Sikin mengaku siap bertanggung jawab jika perbuatannya disebut berpotensi korupsi. “Jadi PT LBB jangan dikambinghitamkan,” terangnya.
Sejumlah karyawan PT LBB yang ditemui media ini sejak Oktober lalu mengatakan, masalah keuangan yang melanda perusahaan itu diduga disebabkan oleh berbagai pemborosan dan penyelewengan selama bertahun-tahun. Penyelewengan, misalnya, terlihat dari fasilitas mobil perusahaan yang justru digunakan oleh anak Lien Sikin.
PT LBB diketahui memiliki empat mobil operasional, yaitu Daihatsu Terios dan Xenia, Honda WR-V dan Brio. Mobil Terios berplat KT 13XX QD ditengarai digunakan oleh anak laki-laki Lien Sikin yang berada di Bontang. Mobil itu berstatus sewa, dengan biaya per bulannya dibebankan kepada PT LBB.
Awalnya, mobil itu digunakan sebagai mobil operasional Lien Sikin. Namun, sejak tahun lalu mobil itu diambil alih oleh anaknya. Lien Sikin kemudian meminta perusahaan untuk menyewakan satu mobil baru untuknya, yakni Honda WR-V berplat KT 19XX QD.
PT LBB juga masih membayar cicilan mobil Xenia berplat KT 15XX DY yang saat ini dikendarai oleh manajer operasional. Sementara satu mobil terakhir bertipe Honda Brio dengan plat KT 10XX QD merupakan kendaraan operasional Bagian Keuangan PT LBB, yang belakangan digunakan sendiri oleh Lasmi.
Seorang karyawan PT LBB mengaku selama kisruh keuangan terjadi, biaya sewa untuk mobil yang dipakai Lasmi tidak pernah menunggak. Ini berbanding terbalik dengan pembiayaan tiga mobil lainnya yang selalu mengalami keterlambatan hingga berbulan-bulan.
Dia juga menyebut, jika mobil Brio itu diduga merupakan mobil pribadi Lasmi. Mobil itu kemudian ditawarkan Lasmi kepada perusahaan untuk disewa sebagai mobil operasional bagian keuangan. “Kalau tidak salah biaya sewa (mobil Lasmi) sebulannya di atas Rp5 juta,” terangnya.
Di samping itu, karyawan ini juga menyebut, PT LBB turut membiayai cicilan mobil Lien Sikin yang kini digunakan oleh anak perempuannya di Sulawesi Selatan. Mobil Daihatsu Terios berplat DD XXXX XX itu merupakan mobil pribadi yang dibeli oleh Lien Sikin secara kredit. Namun, sistem pembayaran angsurannya dibebankan kepada PT LBB melalui mekanisme pemotongan gaji dirinya. Belakangan, cicilan mobil itu terus dibayarkan PT LBB tanpa memotong gaji Lien Sikin.
Namun, Lasmi membantah hal itu. Dia menyebut total kendaraan operasional PT LBB memang ada empat unit. Satu mobil Xenia yang dibeli dengan sistem kredit sebesar Rp6 juta per bulan. Sisanya, yakni dua Daihatsu Terios dan Honda Brio dengan sistem sewa. Semua mobil tersebut pun diklaim berada di Bontang, “Masing-masing biaya sewa mobil tersebut sebesar Rp7 juta per bulan,” jelasnya.
Pun dengan mobil Brio yang dikendarainya, diakui Lasmi jika kendaraan itu dia sewa dari seseorang di Bontang. Kendati demikian, Lasmi enggan memberitahu lebih jauh soal mobil tersebut. “Itu mobil orang, saya pakai mobilnya,” klaimnya.
Keistimewaan PT LBB terhadap keluarga Lien Sikin juga dirasakan oleh anak pertamanya. Orang dalam perusahaan menyebutkan, anak pertama Lien Sikin mulai bekerja di PT LBB sejak 2023 lalu. Saat masuk dia langsung menjabat sebagai kepala bagian (kabag) operasional dengan status karyawan permanen. Karena jabatannya, ia bisa memperoleh gaji sebesar Rp7,5 juta per bulan. Lien Sikin membenarkan jika anaknya menjabat kabag operasional PT LBB.
Namun, tidak seperti karyawan lainnya yang harus mengalami keterlambatan pembayaran gaji selama berbulan-bulan. Anak pertama Lien Sikin itu disebut-sebut selalu menerima pembayaran gaji setiap bulannya. Untuk menyamarkan proses pembayaran gajinya, perusahaan diduga menggunakan sistem kasbon.
Padahal, menurut orang dalam perusahaan, dalam aturan yang diterapkan kepada karyawan lainnya, kasbon tidak boleh lebih dari Rp500 ribu. Dan wajib dibayarkan dalam kurun waktu satu bulan. “Kalau dia (anak pertama Lien Sikin) dibebaskan mau bayar kapan, nominal yang bisa dipinjam juga jutaan,” jelasnya.
Status karyawan di PT LBB diakui Lien Sikin memang terbagi dalam dua kategori, yakni karyawan permanen dan kontrak. Untuk karyawan kontrak, perpanjangan dilakukan setiap tiga bulan sekali. Total karyawan kontrak di PT LBB diklaim ada sebanyak 10 orang.
Lien Sikin menegaskan, sejak jauh hari telah memperingatkan para karyawannya untuk mengundurkan diri dari PT LBB. Jika merasa tidak puas dengan sistem penggajian yang kerap terlambat. “Saya sudah persilahkan untuk mundur atau kontraknya tidak saya perpanjang,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh media ini, gaji di PT LBB beragam tergantung jabatan. Untuk gaji direktur yang dijabat oleh Lien Sikin disebut-sebut mencapai Rp20an juta. Sedangkan untuk jabatan komisaris memperoleh upah sekitar Rp15an juta. Adapun manajer mendapat Rp10 juta. Di bawahnya, level kabag digaji sebesar Rp7,5 juta. Sementara untuk karyawan dengan posisi paling rendah bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp3,4 juta.
Namun, Lien Sikin membantah hal itu. Menurutnya, gaji dirinya sebagai direktur hanya sebesar Rp17,8 Juta, gaji komisaris Rp11 juta, manajer operasional Rp8 Juta, gaji manajer keuangan Rp8 juta. “Paling rendah itu cleaning service Rp2,5 juta,” tegasnya.
Di sisi lain, Lien Sikin mengklaim bukan hanya karyawannya saja yang tidak menerima gaji, namun sejak beberapa bulan lalu dirinya juga tidak menerima gaji. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menutupi beban operasional LBB, sehingga bisa tetap eksis. “Saya ini gila membantu (perusahaan) plat merah,” ungkapnya.
Lien Sikin juga mengklaim telah mengagunkan berbagai aset pribadinya untuk memulai bisnis dan membiayai operasional LBB sejak dua tahun terakhir. Di samping menunggu para pemegang saham, yakni Perumda AUJ dan PT Bontang Transport untuk menyelesaikan kewajibannya. “Namun, hingga kini mereka tak kunjung menyelesaikan kewajibannya, sehingga setiap tahun terjadi polemik (gaji menunggak),” jelasnya.
Jika dikalkulasikan, dalam sebulan PT LBB harus mengalokasikan anggaran sebesar Rp150an juta untuk membayar gaji 32 karyawannya. Angka ini sebenarnya cukup jika disandingkan dengan pendapatan yang diraih oleh PT LBB di setiap bulan yang mencapai Rp500 juta lebih.
Berdasarkan laporan keuangan PT LBB yang dimiliki media ini, kurun waktu Juli hingga Oktober lalu, PT LBB bisa meraup pendapatan hingga Rp2,3 miliar. Rinciannya, yakni Juli Rp663 juta, Agustus Rp533,9 juta, September Rp623,5 juta, dan Oktober Rp535,9 juta. Nominal itu diperoleh dari berbagai jenis jasa kepelabuhanan yang dikelola oleh PT LBB. Kendati demikian, total pendapatan PT LBB setiap bulannya masih harus dipotong sebesar 4 persen untuk Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Bontang.
Media ini telah berupaya menemui Kasi Lalu Lintas dan Angkutan Laut dan Usaha Pelabuhan KSOP Kelas II Bontang, Sugeng. Dia sempat memberikan komentar, tapi enggan untuk dimuat dalam berita.
Sumber dari PT LBB menyebut, polemik menunggaknya gaji karyawan selama berbulan-bulan itu terjadi karena tidak adanya uang di kas perusahaan. Hilangnya uang perusahaan diduga disebabkan karena adanya kongkalikong antara Lien Sikin dan Lasmi.
Sumber ini mengatakan, keterlibatan Lasmi pada penyelewengan anggaran dinilai cukup besar. Lantaran arus masuknya uang ke kas perusahaan hanya diketahui oleh dirinya seorang.
Menurutnya, mekanisme yang dibangun oleh Lasmi, yakni selalu melaporkan ke Lien Sikin setiap kali ada uang masuk. Setelahnya Lien Sikin akan langsung meminta dikirimkan uang. “Peruntukannya buat apa itu yang tidak pernah kami tahu,” paparnya.
Tudingan itu dibantah Lasmi. Lasmi berkilah dengan menyebut segala bentuk pencairan dana perusahaan harus melalui persetujuan Lien Sikin. “Saya buat persetujuan (uang keluar) baru diajukan ke bapak (Lien Sikin). Kadang ada yang dicoret,” klaimnya.
Pernyataan Lasmi ini turut dibenarkan oleh Lien Sikin, “Harus persetujuan saya, jadi dia (Lasmi) hanya mengajukan,” kata Lien Sikin.
Kendati demikian, baik Lasmi maupun Lien Sikin sama-sama tidak merincikan untuk apa saja penggunaan dana perusahaan yang dicairkan tersebut.
Saat ini PT LBB diketahui memiliki dua rekening, yakni di Bankaltimtara dan BRI. Laporan arus kas keuangan PT LBB di rekening Bankaltimtara kurun waktu 1 Januari hingga 12 Juli 2024 menunjukkan uang masuk sebanyak Rp4,068 miliar. Sedangkan uang keluar mencapai angka Rp4,167 miliar. Salah satu pengeluaran terjadi pada 4 April 2024 sebesar Rp240juta dengan keterangan “Set Lien Sikin KJKS Halal.”
Sementara periode 1 Agustus – 31 Oktober 2024 uang masuk mencapai Rp1,005 miliar dan uang keluar sebesar Rp1,039 miliar.
Arus kas di rekening itu juga menunjukkan selama periode 2 Januari hingga 10 Juli 2024, Lasmi tercatat telah mencairkan uang perusahaan sebanyak 69 kali. Dengan total Rp3,526 miliar. Sementara periode Agustus-Oktober 2024, Lasmi tercatat mencairkan uang perusahaan sebanyak 20 kali dengan total Rp727,7 juta.
Untuk laporan kas keuangan PT LBB di rekening BRI periode 1 Agustus – 31 Oktober 2024 tercatat uang masuk mencapai Rp1.106,7 miliar dan uang keluar sebesar Rp988,2 juta.
Jumlah uang keluar di rekening Bankaltimtara dan BRI dalam kurun waktu 1 Agustus – 31 Oktober 2024, tidak mencakup pembayaran gaji karyawan PT LBB. Mengingat pada periode tersebut PT LBB diketahui tidak membayar gaji karyawan.
Berdasarkan informasi yang diterima media ini, sebelum membuka rekening di Bankaltimtara dan BRI, PT LBB awalnya memiliki rekening di Bank Mandiri dengan ATM yang dipegang oleh Lien Sikin.
Hal itu dibenarkan oleh Lien Sikin. Dijelaskannya, rekening tersebut dibuat khusus untuk menampung dana operasional direktur. Tujuannya, agar keuangan tidak campur aduk dengan keuangan perusahaan LBB. “Tapi sekarang tidak difungsikan karena pendapatan kan belum normal,” aku Lien Sikin.
Laporan arus kas perusahaan di rekening Mandiri kurun waktu Februari-Juni 2022 yang dimiliki media ini, menunjukkan adanya transaksi penarikan uang di mesin ATM Mandiri yang berlokasi di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Diketahui, Kabupaten Barru merupakan kampung halaman Lien Sikin. Penarikan uang di mesin ATM itu terjadi sebanyak lima kali. Dengan total penarikan sebesar Rp50 juta.
Laporan keuangan itu juga melampirkan transaksi belanja online dengan kartu debit/kredit mandiri di layanan e-commerce. Atau transaksi menggunakan mesin EDC dengan kartu debit/kredit mandiri. Tercatat, kurun November 2021 – April 2022 terjadi sebanyak tujuh kali transaksi dengan total mencapai Rp26,9 juta.
Masih dalam laporan yang sama, tercatat adanya transaksi pengiriman uang ke rekening pribadi Lien Sikin sebanyak dua kali. Yakni, pada Januari 2022 sebesar Rp50juta dan Februari 2022 sebesar Rp15 juta.
Aliran uang dari rekening perusahaan juga mengalir ke rekening pribadi pria berinisial UM yang merupakan pimpinan salah satu ormas di Bontang. Berdasarkan dokumen yang dimiliki media ini, transaksi itu terjadi sebanyak dua kali. Yakni, pada Januari dan Februari 2022.
Sosok UM juga muncul dalam upaya PT LBB mendapat tambahan uang. Lien Sikin menjabarkan jika ia dipinjamkan ruko di Kompleks Halal Square sebanyak empat unit oleh UM untuk diagunkan di Bankaltimtara. Sebelumnya, kepemilikan ruko tersebut telah dibalik nama menjadi miliknya. Satu ruko, kata Lien Siki, sudah dibelinya senilai Rp850 juta. Sehingga total nilai empat ruko yang coba diagunkan mencapai Rp3,2 miliar. “Jadi saya tidak pernah menggadaikan aset milik pemerintah,” paparnya.
Kebijakan yang diambil oleh Lien Sikin ini dinilai orang dalam perusahaan bisa menambah jumlah utang yang dimiliki oleh PT LBB. Dalam laporan keuangan PT LBB, per Desember 2023 jumlah utang perusahaan mencapai angka Rp3,1 miliar. Jumlah utang itu bertambah dibanding 2022, yakni Rp2,037 miliar.
Utang terbesar PT LBB dalam laporan keuangan 2023 tercatat kepada orang yang diklaim sebagai investor senilai Rp2,1 miliar. Salah satu yang tercatat adalah Lien Sikin sendiri. PT LBB berutang kepada Lien Sikin sebesar Rp1 miliar pada 10 Desember 2021. Hingga 31 Desember 2023 utang PT LBB ke Lien Sikin masih tersisa sebanyak Rp290,7 juta. Utang kepada Lien Sikin merupakan satu-satunya yang dibayar oleh PT LBB pada 2023. (*)
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi yang terdiri dari aksarakaltim.id, bontangpost.id, dialektis.co, inspirasa.co, klikkaltim.com, dan populism.id.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan bergabung saluran Dialektis.co di WhatsApp atau telegram di link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join.
Discussion about this post