Dialektis.co – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bontang mengkhawatirkan dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penyelenggaraan pemilihan umum terhadap pembangunan daerah.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Bontang, Ubayya Bengawan, menyatakan bahwa kepala daerah harus memiliki acuan yang jelas dalam melaksanakan pembangunan.
“Jangan sampai kepala daerah tidak punya acuan dalam pembangunan,” kata Ubayya dalam pembahasan Raperda RPJMD 2025-2029, di ruang rapat BPKAD Bontang, Senin (29/6/2025).
Ia berharap agar pemerintah daerah dapat memikirkan solusi untuk mengatasi kemungkinan akan adanya kekosongan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) akibat putusan MK tersebut.
Menurut Ubayya, RPJMD merupakan dokumen penting yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan selama lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, kepala daerah harus memiliki acuan yang jelas dalam melaksanakan pembangunan.
“Jika tidak ada acuan yang jelas. Maka pembangunan daerah dapat berjalan tanpa arah yang pasti,” ucapnya.
Sebagai Ketua Pansus, Ubayya meminta pemerintah daerah dapat memasukkan ayat atau pasal yang dapat mengikat dalam RPJMD yang saat ini disusun.
Sehingga dapat menjadi referensi pemerintah di tahun transisi.
Dengan demikian, kepala daerah dapat memiliki pedoman yang jelas dalam melaksanakan pembangunan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut politisi Golkar ini, adanya acuan yang jelas, kepala daerah dapat melaksanakan pembangunan dengan lebih efektif dan efisien.
“Kita perlu memastikan bahwa pembangunan daerah dapat berjalan dengan lancar dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan,” tutupnya.
Putusan MK Terkait Pemilu
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan penyelenggaran pemilihan umum atau pemilu di tingkat nasional seperti pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah.
Mahkamah mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Perludem meminta MK untuk mencabut frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah menyatakan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Maka, dengan demikian nantinya berpotensi terjadi kekosongan atau masa transisi pemerintah di daerah usai Pemilu menuju Pilkada. (Mira/adv).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan bergabung saluran Dialektis.co WhatsApp atau telegram di link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join.
Discussion about this post