DIALEKTIS.CO – Puluhan akademisi lintas perguruan tinggi menyuarakan solidaritas pada warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.
Kelompok yang menamakan diri Solidaritas Akademisi untuk Wadas (Sadewa) itu menilai tawaran konsinyasi atas tanah milik warga merupakan cara kotor perampasan tanah rakyat.
Sadewa menyebut pada tanggal 10 Maret 2023 lalu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo melayangkan surat No: AT.02.02/688-33.06/III/2023 yang ditujukan kepada Kepala Desa Wadas.
Pada intinya, surat tersebut berisi pemberitahuan agar warga penolak tambang batuan andesit segera mengumpulkan berkas inventarisasi paling lambat tanggal 24 Maret 2023.
Jika tidak, maka pihak BPN akan melakukan mekanisme “Konsinyasi” atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan.
“Mekanisme konsinyasi ini jelas merupakan bentuk intimidasi terhadap warga wadas penolak tambang. Cara kotor negara untuk mengambil paksa tanah rakyat,” tulis Sadewa dalam rilis yang diterima media ini, Selasa (28/3).
Menurut mereka mekanisme konsinyasi itu harus dilawan dengan beberapa argumentasi.
Pertama, dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menyebutkan dengan tegas bahwa konsinyasi hanya bisa dilakukan jika “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank.
Dengan demikian, jika merujuk ketentuan tersebut, maka sikap kekeuh warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi.
Kedua, kegiatan “pertambangan”, tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 10 UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Artinya, kegiatan pertambangan bukanlah bagian dari objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perampasan tanah warga oleh Negara melalui Pemerintah, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun,” tegasnya.
Bagi Sadewa, perampasan tanah warga, bukan sekedar menghilangkan hak atas tanah, melainkan juga menghilangkan sumber kehidupan yang merupakan bagian mendasar hak atas ruang hidup dan kehidupan warga. Sebagaimana yang dimandatkan dalam Pasal 28A UUD NRI 1945.
Masih dalam rilisnya. Sebab itu, Sadewa mengeluarkan lima tuntutan yang salah satunya adalah meminta pemerintah untuk menghentikan penawaran konsinyasi. Penawaran itu dinilai sebagai bentuk intimidasi warga yang hingga hari ini masih melakukan penolakan atas rencana penambangan di kampung halamannya.
Sadewa juga meminta kepada Komnas HAM agar mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk intimidasi yang dilakukan, termasuk penawaran konsinyasi tersebut.
“Negara harus menghargai sikap warga yang menolak melepaskan tanahnya demi mempertahankan ruang hidupnya yang merupakan bentuk kewenangan lokal berskala desa dan merupakan asas rekognisi-subsidiaritas,” tulisnya.
Sekedar informasi, Sadewa beranggotakan sekira 80 akademisi lintas perguruan tinggi se-Indonesia, mulai Universitas Mulawarman (Unmul), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Tadulako Palu, Universitas Cendrawasih Papua, hingga universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Pakar Tata Negara Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman, serta Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas dan Herlambang P. Wiratraman dari UGM Yogyakarta, juga ikut ambil bagian dalam solidaritas akademisi tersebut. (*)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan klik link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join. Agar lebih mudah instal aplikasi telegram dulu di ponsel Anda.
Discussion about this post