DIALEKTIS.CO – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai keputusan Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP), sebagai siasat percepatan perluasan pengerukan untuk keuntungan oligarki tambang.
Diketahui, pada Kamis (06/01/2022) kemarin, Presiden Jokowi mengumumkan pencabutan 2.078 IUP di Indonesia.
Pencabutan IUP ini dilatari oleh para pemegang IUP tidak pernah menyampaikan rencana kerja, meski sudah bertahun-tahun izin telah diberikan.
Dalam pernyataanya, Presiden Jokowi mengklaim, jika pencabutan IUP itu terkait upaya pemerintah untuk terus memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar terjadi pemerataan, transparan, dan adil untuk mengoreksi ketimpangan ketidakadilan dan kerusakan alam.
“Langkah Presiden Jokowi yang mencabut ribuan izin tambang minerba itu, tak ada yang perlu diapresiasi, mengingat selain tak didasari dan tak menyentuh perusahan pemegang IUP yang melakukan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan,” tulis JATAM, dalam rilis tertulis yang diterima dialektis.co, Jumat (7/1) Malam.
JATAM bilang, keputusan itu juga hanya akan membuka ruang eksploitasi baru yang berdampak pada percepatan dan perluasan kerusakan di seluruh kepulauan di Indonesia.
Pasalnya, kebijakan pencabutan izin tambang oleh Presiden Jokowi tidak menyentuh perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang memiliki rekam jejak buruk nyata selama ini.
Sebagai contoh, misalnya, PT Kaltim Prima Coal (KPC), tambang batu bara terbesar di Indonesia saat ini yang terhubung dengan Bakrie, petinggi Golkar, memindah-paksakan warga Dayak Basap di Desa Keraitan di Bengalon dengan cara intimidasi.
PT KPC juga diketahui menambang jalan umum di ruas jalan penghubung Bengalon-Sangatta yang secara aturan tidak dibolehkan. Bahkan, PT KPC telah habis masa kontrak pada 31 Desember 2021, tapi aktivitas di lapangan terus berjalan hingga saat ini.
“Selain PT KPC, PT Adaro Indonesia juga tercatat pernah merampas tanah ulayat warga di Desa Kasiau, Kabupaten Tabalong, Kalsel,” paparnya.
Masih dalam rilis tertulisnya, JATAM menyebut, perusahaan tambang batu bara raksasa milik keluarga Thohir ini, juga tersandung kasus pengemplangan pajak dan menjadi salah satu perusahaan yang menyebabkan banjir parah di Kalsel tiap tahunnya.
Selain keluarga Thohir, nama lain yang tercatat pernah menjadi pemilik saham di PT Adaro Indonesia adalah Sandiaga Uno, mantan calon wakil presiden pada Pemilu 2019 lalu yang kini menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
Ada juga PT PT Multi Harapan Utama (MHU) yang pada 2016 diketahui melakukan tindak kekerasan berupa pembacokan terhadap seorang pengacara, OS, dan anggota TNI berpangkat mayor, CHK.
Konflik diduga karena sengketa lahan. Kasus ini bukan jejak kelam pertama yang berkaitan dengan PT MHU. JATAM mencatat terdapat kasus anak meninggal di lubang tambang PT MHU di Kutai Kartanegara pada 2015 dan serangkaian intimidasi hingga kekerasan terhadap warga dan aktivis anti tambang pada 2016.
Airlangga Hartarto, petinggi Golkar yang kini menjabat sebagai Menko Perekonomian, sebelumnya tercatat pernah menjabat sebagai komisari di PT MHU. Selain Airlangga, Sandiaga Uno juga tercatat pernah menjadi komisaris di PT MHU pada 2018 lalu.
Demikian juga dengan anak perusahaan Toba Bara, PT Adimitra Baratama Nusantara yang akibat aktivitas tambangnya menyebabkan rumah-rumah warga ambles di Kukar, Kaltim pada November 2018.
Toba Bara merupakan grup perusahaan yang bergerak di bidang energi dan pertambangan diketahui terkait dengan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
“Selain berbasis jejak kejahatan korporasi, pencabutan izin juga mestinya menyasar pada perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan bencana. JATAM mencatat, setidaknya terdapat 783 IUP berada di kawasan bencana yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia,” tegasnya.
Demikian juga dengan tambang yang berada di kawasan hutan, yang pada 2019 saja, terdapat 2.196 IUP yang beroperasi di kawasan hutan. Belum lagi dengan deretan perusahaan yang meninggalkan lubang-lubang tambang tanpa reklamasi dan telah menyebabkan banyak anak-anak tewas-tenggelam.
JATAM menduga, pencabutan ribuan izin tambang ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi perusahaan tambang dan percepatan pengerukan komoditas tambang.
Alih-alih didasari penyelamatan lingkungan, perlindungan hak warga dan evaluasi atas carut marut proses perizinan tambang, pencabutan izin ini jelas dalam rangka untuk mempercepat pengerukan di tapak-tapak tambang.
Ditambah lagi ada jaminan proses perizinan yang lebih singkat dan mudah untuk perusahaan yang mau masuk ke konsesi yang sudah dicabut itu.
“Para pelaku bisnis pertambangan dalam lingkaran pemerintahan saat ini juga patut diduga akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam pencabutan izin tambang ini,” bebernya.
Dugaan itu tidak lepas dari berbagai regulasi yang muncul belakangan yang memberikan banyak insentif fiskal dan perizinan, seperti Revisi UU MInerba dan UU Cipta Kerja, yang akan memberikan karpet merah bagi para oligarki tambang di lingkar kekuasaan untuk masuk dan menguasai konsesi dari ribuan izin yang telah dicabut Presiden Jokowi kemarin. (*)
Discussion about this post