DIALEKTIS.CO, Jakarta – Tadi pagi, di studio yang dingin oleh lampu sorot dan sunyi oleh harapan yang patah, seorang penyiar program olahraga Kompas TV berdiri kaku di depan kamera.
Ini bukan siaran pertandingan Liga Inggris atau MotoGP seperti biasanya. Kali ini, ia mengakhiri siaran bukan dengan semangat, tapi dengan suara bergetar dan mata berkaca.
“Tak terasa inilah akhir perjalanan panjang Kompas Sport Pagi selama hampir 12 tahun …” katanya.
Tangisnya pecah, mengiringi kata-kata perpisahan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan dalam momen seperti ini.
Ia menyeka air mata, menarik napas panjang. Kata-kata tertahan di tenggorokan. Kamera terus merekam, tak ada naskah yang bisa menyelamatkan keheningan itu.
Tim produksi di ruang kontrol ikut terdiam. Mereka tahu, bukan hanya satu karier yang berakhir hari itu, tapi sebuah babak dalam sejarah jurnalisme televisi yang terpaksa berhenti.
Sang penyiar itu mungkin salah satu dari ratusan karyawan Kompas TV yang harus berpamitan karena kebijakan 𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵𝘴𝘪𝘻𝘪𝘯𝘨–yang kabarnya sudah beredar di beberapa WAG pekan lalu.
Gelombang pemutusan hubungan kerja itu menghantam banyak lini—News, Programming, Teknik, hingga Sales & Marketing.
Mereka yang selama ini bekerja dalam senyap di balik layar, kini keluar dengan luka terbuka: kehilangan pekerjaan, kehilangan panggung, kehilangan mimpi.
Penyusutan karyawan, meski dibungkus dalam bahasa korporat yang tenang, adalah letusan dari tekanan panjang yang dialami hampir semua media.
Penurunan belanja iklan, efisiensi anggaran pemerintah, dan pergeseran perilaku publik ke platform digital membentuk badai sempurna. Media berita, perlahan-lahan, dipreteli daya hidupnya.
“𝙏𝙝𝙚 𝙢𝙤𝙧𝙚 𝙥𝙚𝙤𝙥𝙡𝙚 𝙬𝙝𝙤 𝙡𝙤𝙨𝙚 𝙛𝙖𝙞𝙩𝙝 𝙞𝙣 𝙟𝙤𝙪𝙧𝙣𝙖𝙡𝙞𝙨𝙢, 𝙩𝙝𝙚 𝙢𝙤𝙧𝙚 𝙥𝙤𝙬𝙚𝙧 𝙛𝙡𝙤𝙬𝙨 𝙩𝙤 𝙩𝙝𝙤𝙨𝙚 𝙬𝙝𝙤 𝙘𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙣𝙞𝙥𝙪𝙡𝙖𝙩𝙚 𝙧𝙚𝙖𝙡𝙞𝙩𝙮 𝙛𝙤𝙧 𝙩𝙝𝙚𝙞𝙧 𝙤𝙬𝙣 𝙚𝙣𝙙𝙨.” — Jay Rosen, New York University.
Kebijakan 𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵𝘴𝘪𝘻𝘪𝘯𝘨, istilah halus yang dipilih korporasi, bukan cuma soal menyusutkan organisasi. Ia menyusutkan cakrawala informasi.
Setiap nama yang hilang dari daftar redaksi berarti satu suara rakyat yang mungkin tak lagi terdengar.
Jurnalisme bukan mesin pencetak klik, melainkan penjaga muruah demokrasi.
Ketika negara menyunat belanja iklan dan memilih konten internal yang lebih murah, ketika masyarakat makin terpikat oleh narasi viral di TikTok ketimbang laporan investigatif berdurasi 5 menit—maka media yang tidak laku bukan berarti tidak penting. Ia justru sedang menjadi korban.
“𝘿𝙚𝙢𝙤𝙘𝙧𝙖𝙘𝙮 𝙬𝙞𝙩𝙝𝙤𝙪𝙩 𝙟𝙤𝙪𝙧𝙣𝙖𝙡𝙞𝙨𝙢 𝙞𝙨 𝙡𝙞𝙠𝙚 𝙖 𝙗𝙤𝙙𝙮 𝙬𝙞𝙩𝙝𝙤𝙪𝙩 𝙖 𝙗𝙡𝙤𝙤𝙙𝙨𝙩𝙧𝙚𝙖𝙢.” — Victor Pickard, Democracy Without Journalism?
Dulu, seorang jurnalis berkompetisi lewat liputan. Kini, algoritma yang menentukan siapa yang tampil di layar.
Tidak peduli apakah ia jurnalis, selebgram, atau pemengaruh yang tidak pernah turun ke lapangan. Selama ia menarik, ia akan menang.
Dalam arena seperti ini, redaktur manusia kehilangan kuasa, dan media kehilangan arah.
Bahkan pemerintah pun terbujuk. Gubernur, menteri, hingga lembaga negara kini membanggakan konten media sosial internal mereka yang “hemat anggaran”. Tapi seperti kata Noam Chomsky:
“𝙏𝙝𝙚 𝙨𝙢𝙖𝙧𝙩 𝙬𝙖𝙮 𝙩𝙤 𝙠𝙚𝙚𝙥 𝙥𝙚𝙤𝙥𝙡𝙚 𝙥𝙖𝙨𝙨𝙞𝙫𝙚 𝙞𝙨 𝙩𝙤 𝙡𝙞𝙢𝙞𝙩 𝙩𝙝𝙚 𝙨𝙥𝙚𝙘𝙩𝙧𝙪𝙢 𝙤𝙛 𝙖𝙘𝙘𝙚𝙥𝙩𝙖𝙗𝙡𝙚 𝙤𝙥𝙞𝙣𝙞𝙤𝙣.”
Jika yang ditayangkan hanya apa yang mereka pilih sendiri, siapa yang akan mengabarkan sisi lain dari realitas?
Sudah saatnya publik sadar bahwa media adalah infrastruktur demokrasi, bukan hanya industri.
Pemerintah bisa—dan seharusnya—mendorong keberlanjutan media dengan kebijakan afirmatif: mulai dari insentif pajak, skema hibah publik, hingga program literasi yang membuat masyarakat kembali percaya pada jurnalisme.
Media pun tak bisa hanya meratap. Dunia sudah berubah. Model bisnis lama tak bisa dipertahankan terus-menerus.
Kini saatnya membangun ulang—berbasis komunitas, platform digital yang mandiri, dan kemitraan strategis yang tidak mencederai independensi.
Kompas TV mungkin sedang surut. Tapi semangat jurnalismenya harus tetap menyala. Para jurnalis yang kini kehilangan kantor bisa menjadi 𝙛𝙧𝙚𝙚𝙡𝙖𝙣𝙘𝙚𝙧 𝙤𝙛 𝙩𝙧𝙪𝙩𝙝.
Mereka bisa mengisi kekosongan itu melalui kanal alternatif. Media bukan gedung. Ia adalah keyakinan bahwa kebenaran harus terus ditemukan dan disampaikan.
Dan bagi kita, publik, inilah saatnya untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi penjaga dari ruang-ruang sunyi yang makin banyak ditinggalkan. (*)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan bergabung saluran Dialektis.co WhatsApp atau telegram di link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join.
Discussion about this post