DIALEKTIS.CO, Samarinda – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda, menyelenggarakan webinar berjudul Kaltim dalam Jejak Bencana dan Jurnalisme Empati.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Webinar AJI Indonesia bekerjasama dengan Google News Initiative (GNI).
Dalam webinar ini, narasumber membahas soal potensi bencana dan bagaimana etika para jurnalis memberitakan. Narasumber pertama adalah Fajar Alam.
Akademisi Teknik Geologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) ini menjelaskan, potensi bencana alam di Kaltim beragam. Mulai dari kebakaran hutan, angin puting beliung, banjir, longsor, gelombang pasang, hingga gempa.
Di Kaltim, potensi gempa memang kecil dibanding daerah lain. Zona rawan gempa bumi tinggi di Kaltim, ada di kawasan paling timur, yang sering disebut ujung hidung Kalimantan, atau sekitar kawasan Biduk-Biduk, Berau.
Sedangkan, daerah rawan gerakan tanah hampir ada di setiap kota/kabupaten. Bahkan, Samarinda pun banyak.
Apalagi, pola pemanfaatan lahan mengalami perubahan di tiap zaman. Dahulu masyarakat memiliki rumah rakit dan rumah panggung di pinggir sungai. Lalu ke wilayah dataran, kemudian ke perbukitan.
Masuknya industri membuat tempat tinggal masyarakat juga beragam dengan tinggal di sekitar kawasan industri. Di sisi lain, lahan pun diubah untuk keperluan industri. Kaltim pernah mengalami penambangan batu bara sejak era Hindia Belanda.
Lalu ke industri kayu lapis, kemudian kembali ke batu bara dan perkebunan sawit. Pola perubahan lahan ini pun membawa dampak dengan makin banyak wilayah yang dieksploitasi.
“Peningkatan erosi, gangguan penyerapan air permukaan, dan meningkatnya volume air limpasan,” kata dia.
Data 2015-2018, ada 92 bencana banjir yang tercatat di Kaltim. Sedangkan, tanah longsor ada 59. Namun, industri ekstraktif Kaltim terus digenjot. Banjir, tanah longsor, pencemaran air hingga anak tewas di lubang tambang jadi dampak buruk industri ini.
Hal ini ditegaskan Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang yang juga jadi narasumber. Dia menegaskan, Luas Izin Daratan Kaltim adalah 9,33 Juta
Ha atau 73% luas Kaltim.
“Banjir pun makin parah, akibat konsesi tambang yang mengepung,” tegasnya.
Sungai Karang Mumus yang membelah Samarinda pun tak lepas dari konsesi tambang. Akibatnya, sungai kerap meluap. Di hulu hutan dikupas, air pun semua tumpah ruah ke sungai ini. Tak sanggup menampung, air pun ke permukiman.
Bencana pun datang menghasilkan kisah pilu. Seperti warga Samarinda yang sudah dua kali Idulfitri digenangi air hampir seminggu. Itu baru contoh di Samarinda, belum Kabupaten lain di Kaltim yang keran industri ekstraktif begitu besar dibuka.
Tinggal di provinsi rawan bencana pun, harus membuat para jurnalisnya memiliki empati terhadap korban. Ahli Pers Kaltim Novi Abdi mengatakan, jurnalis kerap melanggar etika ketika meliput bencana.
Mereka mengeksploitasi perasaan atau privasi korban dan keluarganya. Adapula yang memaksa wawancara atau sajian jurnalistik yang lemah akurasi. Meliput bencana pun harus ada persiapan.
“Sangat ideal, bila yang meliput, jurnalis atau reporter yang terlatih. Menguasai teknik dan kode etik jurnalistik. Paham pedoman penyiaran. Paham UU Pers, UU Penyiaran,” jelasnya.
Dia menambahkan, menjadi jurnalis itu artinya tak berhenti belajar. Novi pun menyarankan agar para jurnalis mau mengikuti berbagai pelatihan dan diskusi.
“Sebenarnya, liputan bencana itu tidak beda jauh dengan liputan lain. Hanya perlu sedikit pemahaman akan etika dan kemampuan berempati,” pungkasnya. (*).
Discussion about this post