DIALEKTIS.CO – Adanya penerapan iuran listrik di SMA Negeri 1 Bontang, senilai Rp 20 ribu per bulan, menarik perhatian publik.
Hal itu mencuat, setelah dikeluhkan salah satu wali murid di sosial media.
Iuran listrik ini dipertanyakan. Terlebih status SMA Negeri 1 ialah sekolah negeri, bukan swasta.
Wali murid yang tak ingin disebutkan namanya itu menilai, idealnya saat ini sekolah negeri tak ada tarikan biaya yang dibebankan ke siswa.
Dikonfirmasi mengenai hal itu, Kepala Sekolah SMA Negeri 1, Sumariyah membenarkan adanya iuran listrik yang dibebankan kepada siswa.
Kata Sumariyah, pemberlakuan iuran ini terpaksa diberlakukan. Sebab, biaya operasional sekolah membengkak. Sementara bantuan pemerintah justru berkurang.
Dijelaskannya, sejak Undang-Undang 23 tentang pemerintah daerah, kewenangan SMA/SMK dan SLB diambil alih provinsi, membuat bantuan dana operasional untuk SMA Negeri 1 Bontang menyusut.
Akibat penerapan regulasi ini. SMA Negeri 1 Bontang, kata dia kehilangan subsidi Rp 2 juta per-siswa per tahunnya. Sebab, tidak dapat bantuan dari pemerintah kota lagi.
“Jadi ada kehilangan dana sekitar Rp 1,6 miliar lebih, dari tahun 2017 sampai sekarang,” jelasnya saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (14/11/2024).
Sebelum, Undang-Undang 23 diterpakan. SMA Negeri 1 Bontang,.memiliki 3 sumber pendanaan. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
“Dana yang diberikan provinsi, yang tadinya Rp 1 juta menjadi Rp 900 ribu, namun dari pusat tetap ada, tapi kecil. Jadi ada pengurangan dana,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sumariyah menjelaskan pada saat pandemi Covid-19 di tahun 2021-2022 pihak sekolah tak mengalami kendala. Lantaran berkurangnya kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Masalah mulai dirasakan saat pembelajaran tatap muka mulai diaktifkan lagi. Pelajar banyak mengeluhkan terasa panas saat proses belajar di kelas. Sementara dana operasional sekolah sangat terbatas.
Sebab itu, pihak sekolah melalui komite sekolah berinisiatif memberlakulan iuran Rp 20 ribu per-bulan per siswa. Dana itu digunakan untuk perbaikan AC ruang kelas, dan bayar listrik bulanan.
Sumariyah menegaskan penerapan iuran ini melalui rapat bersama orang tua siswa, bukan asal-asalan. Selain itu, uang iuran ini murni dikelolah oleh komite sekolah, dan juga digunakan untuk membantu semua kegiatan siswa.
“Digunakan untuk kenyamanan saat proses belajar, mengajar. Pengunaan AC di seluruh ruangan kelas, ditambah 2 kipas angin,” ujarrnya.
Dirincikan penarikan iuran Rp 20 ribu diterapkan untuk siswa kelas 1 dan 2. Sementara kelas 3 Rp 200 ribu setahun.
Terkait biaya operasional listrik sebelum menggunakan AC. Kata Sumariyah, pihak sekolah hanya membayar sebesar Rp 9 juta.
Namun setelah menggunakan AC, biaya operasional sekolah pun membengkak sebesar Rp 19 juta. Kendatipun biaya listrik telah dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sekolah sebesar Rp 12 juta.
“Artinya sekolah SMA Negeri 1 dengan luasan seperti ini, dana yang diperlukan sangat kurang. Biaya minimal untuk SMA sebesar Rp 5 juta. Sedangkan kami di tahun 2017-2018 sebesar Rp 2.400.000, artinya enggak mencapai 50 persen,” ungkapnya.
Lebih jauh, Sumariyah mengungkapkan sebenarnya di UU Sisdiknas tentang sistem pendidikan nasional disitu dijelaskan wajib belajar bukan 12 tahun, tetapi 9 tahun.
Namun, bila pemerintah mengambil kebijakan wajib belajar 12 tahun. Maka, pemerintah daerah wajib membiayai seluruh pendidikan.
“Nah, kami sekarang ini terapkan wajib belajar 12 tahun. Tetapi, terpenuhi enggak biaya pendidikan. Belum mencapai 50 persen dari standar biaya nasional,” ungkapnya. (*).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan bergabung saluran Dialektis.co di WhatsApp atau telegram di link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join.
Discussion about this post