DIALEKTIS.CO, Samarinda – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Samarinda menggelar diskusi publik, pada Senin (30/10), di Bagios Cafe Samarinda.
Tema yang menjadi bahasan adalah Pabrik Smelter Nikel Sangasanga: Investasi Elite, Pekerja Sulit. Tema ini diambil dari hasil liputan Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Samarinda.
Muhibar Ary, jurnalis yang terlibat dalam liputan ini mengisahkan mereka memulai liputan sejak Mei. Pada tahap liputan awal, mereka menemukan permasalahan tenaga kerja dan lingkungan.
“Dari situ kami mulai liputan selama tiga bulan dan dipublikasi pada Agustus,” terang Ary.
Direktur Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen menjelaskan, perbincangan soal isu energi dan sumber daya alam, kerap di tone negatif.
Transisi energi mungkin sebagian terasa terlalu jauh untuk wilayah yang akses energinya masih terbatas. Bahkan kota-kota besar di Kaltim baru-baru saja menikmati listrik tidak biarpet.
Smelter nikel ini bagian dari upaya hilirisasi energi. Industri ini padat modal. Nilai investasi kerap membuat ilusi kesejahteraan. Ternyata teknologi smelter ini hulunya juga bermasalah.
Dia menambahkan, bagi Walhi, bukan industri padat modalnya. Sebab, energi kita sudah surplus. Smelter ini, strategi menyerap energi yang berlimpah. Insentif pemerintah untuk transisi energi juga jor-joran.
“Aspek yang perlu dilihat soal dampak ke pekerja dan lingkungannya. Warga sekitar sudah banyak berteriak. Hadirnya industri ini, harus disampaikan bagaimana dampaknya untuk kita,” jelas dia.
Transisi energi yang ditawarkan adalah solusi palsu. Di satu sisi dia mempopulerkan isu iklim, tapi di sisi lain sebenarnya juga ada perampasan ruang hidup dan lingkungan.
“Segala macam risiko industri menjadi kabur dan sumir,” sambungnya.
Sementara itu, Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari menambahkan, Sangasanga yang menjadi lokasi smelter sudah menanggung banyak industri.
“Ada pertambangan batu bara, migas, hingga perkebunan sawit,” jelasnya.
Adanya nikel ini, tidak hanya hilirisasi. Tetapi juga agenda ekonomi. Namun sayangnya, ternyata juga kesejahteraan di industri ini bermasalah. Harga nikel tidak stabil dan tidak benar-benar membuat kaya.
“Logika yang dibangun adalah apabila bijih nikel diolah jadi stainless steel naiknya 19 kali lipat. Kalau meningkat, mengejar ekonomi juga. Tetapi masih kerap bermasalah soal gaji,” tegas Mareta.
Sementara itu, perspektif soal tenaga kerja disampaikan Marwansyah dari Serikat Buruh Samarinda (Serinda).
Dia menambahkan, tenaga kerja asing maupun lokal memiliki permasalahan masing-masing.
Dia menegaskan, masuknya TKA kita menghadapi permasalahan seperti rasisme. Ini bukan masalah Indonesia atau tidak. Tetapi masalahnya adalah ada kontrol dari investor yang membuat penyerapan TKA lebih banyak.
“Padahal negara sudah sadar, datangnya pekerja asing, berarti negara gagal menyiapkan SDM untuk industri ini,” paparnya.
Marwansyah menambahkan, soal kecelakaan kerja mestinya ada pengusutan, TKA juga punya persoalan sama dengan pekerja Indonesia.
Banyak TKA yang juga kena tipu dengan jam kerja tidak normal dan tidak sesuai dengan kontrak.
Kasi Norma (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) K3 Dedy Nugroho Disnaker Kaltim mengatakan, dari data yang dia miliki, ada 276 TKA Tiongkok.
Memang, pekerja sebenarnya wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA). Tetapi ketentuannya setelah pekerja tiga bulan.
“Memang dari monitoring kami, masih banyak yang belum memiliki RPTKA. Alasannya, masih ada yang belum tiga bulan dan pakai visa tenaga kerja,” jelas dia.
Diakuinya, serikat banyak bantu pihaknya monitoring, memang banyak kejadian yang tidak sesuai harapan. Namun, dia menegaskan, pihaknya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengawal urusan ketenagakerjaan. (*).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Dialektis.co. Caranya dengan klik link https://t.me/+CNJcnW6EXdo5Zjg1 kemudian join. Agar lebih mudah install aplikasi telegram dulu di ponsel Anda.
Discussion about this post