- Wisata Alam Prevab merupakan habitat alami Orang Utan Kalimantan. Luasnya, 320 hektare di wilayah Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur.
- Saat ini kawasan Prevab, tak lepas dari ancaman perambahan. Klaim penguasaan lahan, hingga usulan izin penggarapan dari sejumlah kelompok menjadi ancaman tersendiri.
- Sebagai wilayah konservasi, hutan tepi sungai Sangatta ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Kutai (TNK).
- Sejarawan sebut lahan TNK telah ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa Sejak 1936 oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Parikesit.
DIALEKTIS.CO – Langkah Hariyadi terhenti di area TJ 27, ia bergegas menerabas lembabnya objek wisata alam Privab, Taman Nasional Kutai (TNK) di tepi Sungai Sangatta.
“Itu ada, pongo pygmaeus morio,” katanya sambil menunjuk ke atas pucuk pohon sekira tinggi 40-an meter, Minggu (7/11/2021).
Tingkah Hariyadi menarik perhatian 10 pengunjung yang mengikutinya. Rombongan ini adalah peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) dan 7 Jurnalis asal Kota Bontang yang tengah mengunjungi batas utara kawasan TNK.
Tampak, kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan mengarah coklat itu memakan buah belawan di pucuk pohon.
Gerakannya cukup lamban, bulu orang utan itu tampak tidak terlalu lebat. Utamanya di bagian punggung dan pundak.
Hariyadi mengaku tak mengenali ciri orang utan yang ditemui pagi sekira pukul 09.30 Wita itu.
“Jantan dewasa, sekira 30 tahun. Baru sepertinya, tidak termasuk yang sudah kita amati, beri nama,” sebut Hariyadi, pengelola Privab.
Kawasan Prevab merupakan habitat asli Orang Utan Kalimantan. Luasnya, 320 hektare menjadi salah satu area inti di dalam kawasan TNK.
Dr. Yaya Rayadin, dosen sekaligus peneliti Fakultas Kehutanan Unmul, menyatakan orang utan ini sekaligus menunjukkan bahwa lokasi hutan hujan tropis ini wajib dijaga sebagai kawasan konservasi flora dan fauna.
“TNK ini miniatur hutan tropis dataran rendah yang berada di tengah-tengah kota. TNK ini lanskap-nya lengkap, jadi kalau mau lihat keanekaragaman benerbesity alam ya di TNK ini,” ujarnya.
Menurutnya isu keselamatan Orang Utan penting untuk terus diangkat. Bukan sekedar tentang satwa yang unik di Dunia. Sebab, bicara Orang Utan tentu juga akan bicara tentang ekosistem dan keselamatan hutan secara keseluruhan.
Kata dia, dari sisi kehidupan melindungi TNK sama dengan melindungi sumber air, utamanya di wilayah sekitar aliran Sungai Sangatta dan Sungai Santan. Serta, posisinya dari isu karbon internasional juga penting.
“TNK itu mau dilihat dari sisi mana saja strategis. Kalau masyarakat ini semangat merusak TNK, sebetulnya mereka ini sedang semangat merusak kehidupannya sendiri,” tegasnya.
Lebih jauh, Dr. Yaya mengungkapkan meski dari total luasan 180.000 Ha TNK di dalamnya termasuk ada jalan dan pemukiman. Namun ada sekitar 140.000 Ha, masih natural forest yang harus semangat dijaga dari perambahan dan pengalihan fungsi.
Dengan segala potensi yang ada, bagi Dr. Yaya, TNK ke depan harusnya dapat dijadikan sumber plasma nutfah untuk mendapatkan bibit unggul. Kata dia, suatu saat pemerintah ingin mereklamasi pasca tambang, bisa dengan bibit meranti, kapur, sengkuang yang dapat diperoleh dari TNK.
Pembukaan Lahan
Baru saja sekira 10 menit menelusuri Sungai Sanggatta, dari dermaga utama kawasan Prevab kearah Selatan. Tampak jelas jejak pembukaan lahan, puluhan pohon besar pun telah tumbang tak beraturan.
Lokasinya yang tak jauh dari pusat kota disebut sangat menarik bagi perambah. Saat ini kawasan TNK termasuk Prevab, tak lepas dari ancaman perambahan. Klaim penguasaan lahan, hingga permintaan izin penggarapan dari sejumlah kelompok menjadi ancaman tersendiri.
“Di lokasi ini kami sempat sita dua unit senso, pelaku juga sudah kami data. Perambahan ini baru secuil, masih banyak lagi di lokasi terpisah,” ujar Lutvi Hargubi, Kepala Resort Polhut Sangatta.
Jelasnya, modusnya 40 ribu hektare lahan TNK yang terbentang dari kawasan Prevab hingga Rantau Pulung, diklaim. Atas dasar klaim sepihak itu, sebagian lahan lantas dihibahkan kepada beberapa gabungan kelompok tani (Gapoktan) untuk digarap.
Ironisnya, beberapa bulan terakhir intensitas perambahan hutan di kawasan TNK semakin menghawatirkan.
Ia mencatat di sekitar area dan perbatasan Privab saja, sudah ada sekitar 10 Ha hutan yang dirambah bahkan dirusak.
Di sisi lain, Lutvi mengakui secara regulasi tugas dan fungsi Polisi Kehutanan (Polhut) telah dikurangi. Karena untuk penegakan hukum itu telah diambil alih oleh Ditjen GAKKUM.
“Jadi kami hanya melaporkan dan tindakan fisik ada di pihak GAKKUM. Saat ini, kami terus berupaya agar tidak terlalu dieksploitasi kawasan hutan ini,” terangnya.
Sementara, Rosliati, Pj Kepala Desa Persiapan Pinang Raya, Kecamatan Sangatta Selatan menyampaikan keberadaan TNK sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
Terlebih saat ini ada program rehab DAS yang dilakukan TNK, sehingga warga dapat terlibat dalam menjaga lingkungannya.
Rosliati menyatakan pihaknya turut mengecam tindakan klaim lahan yang dilakukan sekelompok warga.
“Saya lihat sendiri, dengar langsung apa yang mereka lakukan. Perambahan ini sudah keterlaluan, saya menginginkan di sini ada tindakan tegas,” ujarnya.
Lebih jauh, Kades wanita itu berharap kelestarian ekosistem di TNK dapat terus terjaga. Karena salah satu paru-paru Dunia ada di Kutai Timur, yakni TNK lengkap dengan segala kekayaan flora dan faunanya yang harus terus dijaga.
“Harapan kami besar sekali, hutan kita ini dapat terus dijaga. Banjir semakin parah, penghijauan hutan jelas dapat meminimalisir dampaknya. Selain itu, karena ini wisatawan mancanegara mau datang,” ucapnya.
Sejarawan Angkat Bicara Soal Klaim Lahan TNK
Sementara, Muhammad Sarip, penerima sertifkat kompetensi bidang sejarah Kemdikbud-BNSP asal Kota Samarinda menegaskan lahan di TNK sejak 1936 Sultan Kutai Aji Muhammad Parikesit menetapkan Suaka Margasatwa Kutai untuk dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda.
Penetapan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Sultan Kutai tertanggal 10 Juli 1936 yang disahkan Residen Borneo Timur dan Selatan di Banjarmasin.
Setelah proses politik internasional Konferensi Meja Bundar yang melegitimasi kedaulatan Negara Indonesia sejak 1949, maka pengelolaan aset Hindia Belanda, termasuk Suaka Margasatwa Kutai, beralih ke pemerintah Indonesia.
“Tahun 1995 Menteri Kehutanan meningkatkan statusnya menjadi Taman Nasional,” ujarnya.
Untuk itu, terkait adanya individu atau kelompok tertentu yang mengatasnamakan entitas adat dengan label Kutai, lalu mengklaim sebagai pemilik atau pendaku hak kelola ribuan hektar lahan di TNK, kemudian menggarap dan mengambil hasil hutannya untuk motif ekonomi pribadi, tidak dapat dibenarkan.
Menurutnya, hal ini sebenarnya justru bertentangan dengan adat Kutai itu sendiri.
“Jika memang mengaku mengusung adat Kutai, maka mereka wajib turut melestarikan alam di TNK. Mestinya mereka mendukung konservasi yang dilakukan pemerintah,” imbaunya.
M. Sarip menegaskan, menebang pohon di TNK untuk keuntungan ekonomi kelompok terbatas atau memburu satwa yang ada di TNK, itu sama dengan melanggar warisan titah Sultan Kutai yang pada masa silam ingin menjaga kelestarian flora dan fauna unik yang hidup di lahan tersebut. (Yud/DT).
Discussion about this post