Oleh: Ezytrina Putri Kania dan Muhammad Dwi Rahmat, Mahasiswa Aktif IAIN Parepare
DIALEKTIS.CO – Budaya adalah kebiasaan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral keilmuan, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sharyn Gharam adalah seorang dosen senior di Aukland University of Tecknology, New Zaeland, dia pertama kali menginjak kakinya di Sulawesi Selatan pada tahun 1998.
Kedatangannya bukan tanpa sebab, melainkan Sulawesi Selatan menjadi sebuah tujuannya untuk belajar mengenai gender. Tentu ini sangat menarik, karena kajian mengenai gender biasanya lebih banyak dilakukan di daerah-daerah misalnya Eropa, Australia, dan Amerika.
Bissu lahir dari sebuah upacara dan kepercayaan rakyat yang sangat kuno. Dalam perjalanannya kepercayaan kuno tersebut kemudian berubah karena pengaruh kepercayaan lain seperti Hindu dan Buddha. Dalam perkembangannya kemudian, kepercayaan tersebut kembali kepada masyarakat tempat dimana bissu lahir.
Tetapi di sisi lain, bissu juga termasuk dalam golongan agama islam, kristen dan protestan.
Bissu merupakan kombinasi dari dua gender, yang dimana bissu dianggap sebagai fitur spiritual vital yang menghubungkan manusia dengan dewa.
Dimana menjadi seorang bissu, jika lahir dengan jenis kelamin laki-laki maka ia memiliki gender (pribadi) perempuan, begitu juga sebaliknya. Pada kombinasi ini merujuk makna filosofis yang dianut oleh masyarakat Bugis Kuno yang mengacu pada nama naskah klasik La Galigo.
“La Galigo” mempunyai makna simbolik dimana ikon manusia sempurna sekaligus penyelamat masyarakat yang didahului dengan simbol “perempuan” baru kemudian dengan simbol “laki-laki”.
Dengan artian, ungkapan tersebut berarti manusia sempurna adalah manusia yang memiliki unsur keperempuanan dan kelaki-lakian secara seimbang dan adil.
Peran bissu menjadikan sebagai orang yang memiliki bahasa tersendiri yang sudah diyakini sebagai bahasa orang-orang langit.
Di masa lalu, ketika berbentuk kerajaan, bissu kerap di berikan kepercayaan oleh raja untuk menjaga dan melindungi arajang (pusaka kerajaan).
Bissu dianggap sebagai gender yang netral, hal ini berbeda dengan dua identitas gender calalai dengan calabai. Calalai adalah seseorang dengan tubuh biologis perempuan namun mengambil peran dan fungsi laki-laki.
Seorang calalai tersebut mengambil sehariannya bekerja seperti layaknya seorang laki-laki, pekerjaan tersebut yaitu : tukang besi, yang biasanya terbuat dari peralatan logam seperti keris, pisau, pedang, dan lain-lainnya.
Seorang calalai menggunakan kain sarung dan pakaian laki-laki, dan tinggal bersama istri dan anak anak yang mereka adopsi.
Calabai adalah seorang yang dilahirkan dengan antonim tubuh laki-laki tetapi dalam kehidupan sehariannya berperilaku seperti perempuan. Dengan demikian, mereka tidak menganggap dirinya sebagai perempuan, dan juga tidak dianggap sebagai perempuan oleh masyarakat.
Calabai mempunyai tugas sendiri, misalnya dalam mempersiapkan pesta pernikahan. Ketika tanggal pernikahan telah disepakati, keluarga mempelai akan merundingkan rencana pernikahan dengan calabai.
Calabai bertanggung jawab atas banyak hal seperti mempersiapkan dan mendekorasi tenda, menyiapkan gaun pengantin baik bagi pengantin perempuan atau laki-laki.
Jumlah pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan bissu, kini semakin menyusut akibat faktor eksternal dan internal. Dalam sejumlah pakar antropologi khawatir dengan tradisi para bissu ini suata saat akan punah.
Tradisi budaya Bugis yang dimana mengakomodasikan gender kelima ini, meski mampu bertahan, namun semakin menurun di tengah masyarakat dengan tradisi keagamaan yang kian menguat.
Dimana tradisi kuno di wilayah Sulsel mengakui adanya lima gender, dan bissu bahkan dipandang sebagai orang suci. Perlu kita ketahui, selain laki-laki (urane) dan perempuan (makkunrai), dimana masyarakat bugis pra-islam juga menerima kehadiran perempuan kelaki-lakian atau biasa disebut dengan calalai, dan sebaliknya laki-laki keperempuanan atau biasa juga disebut dengan calabai.
Di Kabupaten Pangkep, dimana bissu saat ini masih tersisa sampai kini, dimana jumlahnya tinggal enam orang. Dan hanya lima diantaranya yang masih menjalankan tradisi sebagai bissu.
Oleh karena itu, dalam pandangan Professor Davies mengatakan minimnya orang yang mau jadi Bissu tidak terlepas dari meningkatnya kecenderungan homopobia dalam masyarakat Indonesia.
Prof. Davies berharap Pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan yang melindungi masyarakat dari latar belakang gender yang berbeda-beda. (*)
Discussion about this post