Saya mau sedikit sharing tentang pengalaman saya, sebuah pengalaman yang menjadi sesuatu pelajaran dan mungkin ditakuti bagi sebagian orang di Bumi ini. Ya, virus itu bernama Corona atau dalam bahasa medis disebut Coronavirus Disease (Covid-19) yang telah jadi pandemi bagi umat manusia.
Banyak terjadi perdebatan tentang kemunculan virus ini ketika pertama kali muncul di Wuhan, bahkan ada beberapa yang menganggap ini sesuatu teori konspirasi elit global dalam mengatur tatanan kehidupan manusia layaknya Tuhan.
Saya tak peduli bagi mereka siapapun yang menganggap virus ini sebagai apa? Yang jelas pesan saya sederhana bagi kalian, jaga kesehatan kalian masing-masing dulu, baru kalian bisa menjaga orang-orang terdekat disekitar kalian. Karena virus ini tidak mengenal apapun untuk menyerang kita, keluarga, teman, saudara, atau siapapun bahkan dimanapun tempatnya.
Ini berawal sejak saya mendengar keluhan kabar Ayah yang mengeluh tentang keadaan ginjalnya. Kami memutuskan untuk melakukan check up medical di salah satu RS di Kota Magelang, ada sedikit masalah ginjal dan harus dioperasi, begitu kata dokter yang merawat Ayah saya.
Singkatnya selama kurang lebih dua pekan sejak awal masuk hingga pasca operasi, kami tidak merasa gejala umum yang terinfeksi corona. Hanya Ayah saya sempat mengatakan bahwa dia merasa agak demam selama dua hari. Ketika itu belum ada tim gugus cepat, belum ada protokol kesehatan yang dianjurkan Pemerintah. Jadi saya masih santai dalam merawat Ayah saya.
Di hari ketiga, Ayah saya mengajak periksa ke dokter (kami kembali ke RS yang sebelumnya) untuk berobat kembali. Sungguh di luar dugaan dan sangat mengejutkan ketika dokter bilang Ayah saya gejalanya menunjukan terinfeksi corona, kita berdua saling bertatapan mata dan kaget, satu pertanyaan saya waktu itu dalam hati? Darimana dia tertular?
Dokter bergerak cepat untuk melakukan test PCR ketika itu, dan terus menanyakan kontak tracing Ayah saya. Beruntung orang terakhir itu saya (karena sakit ginjal ayah saya sengaja tidak saya beritahukan kepada orang lain dengan alasan agar Ayah saya tidak banyak dijenguk orang dan fokus recovery total), mengenai dia tertular dari siapa?
Dia tidak tahu karena semua orang yang ditemuinya tidak menunjukan gejala. Saya bertanya dalam hati apakah ini yang namanya transmisi lokal seperti di CNN yang saya lihat tentang Wuhan tempo hari? Bagaimana mungkin secepat itu padahal kasus pertama di Depok baru seminggu yang lalu?, dokter kemudian meminta saya melakukan test namun hasilnya negatif. Dan meminta kami melakukan karantina dirumah selama 14 hari, jika ada keluhan lanjutan kami diminta hubungi dokter itu lagi.
Kami sepakat untuk tidak memberitahukan kabar ini kepada siapapun, selama 14 hari Ayah saya mengkarantina dan kemudian kami ke dokter di hari ke-15 untuk melakukan test, saat itu rumah sakit sudah melakukan protokol kesehatan lengkap dengan APD nya. Banyak masyarakat yang datang ingin memeriksa dirinya, agak sedikit takut juga sih waktu itu, takut tertular!
Saya bersyukur Ayah saya dinyatakan sembuh dan negatif dari corona, nah saya semakin penasaran tidak mungkin saya tak tertular jika diberita saja virus ini menyebar melalui interaksi manusia? Lah saya dua minggu terakhir bersama ayah?, saya putuskan untuk memeriksa kembali dan hasilnya negatif.
Akhirnya kita pulang, Ayah saya masih harus karantina kembali selama 14 hari sebelum melakukan interaksi kepada orang lain. Dan pikiran saya masih diliputi rasa penasaran, wong saya ini deket ayah dan mengurus dia kok bisa negatif? Tiga hari kemudian saya balik ke RS kali ini meminta swab test yang kata WHO jauh lebih akurat dan cepat waktu itu.
Saya minta hasilnya dengan cepat dan saya rela membayar lebih waktu itu, (dulu masih bayar, sekarang gratis yah), dua hari kemudian hasilnya keluar dan saya benar positif. Dapat kabar begitu rasanya tak punya tulang, lemas dan langsung kepikiran anak saya, keluarga dan orang terdekat saya selama ini. Bagaimana jika mereka tertular karena saya? Artinya saya bersalah terhadap mereka juga keluarga mereka? Tidak karuan rasanya campur aduk waktu itu.
Oke, pertama saya tak boleh panik dan terlihat gugup di depan mereka, kedua saya pikirkan bagaimana caranya saya menjauhkan diri dari mereka dan menghentikan kegiatan usaha saya. Hari pertama setelah positif, saya mengurung diri di kamar, lalu chat ke Adik saya. Saya putuskan usaha berhenti sementara, yang kerja saya rumahkan dan upah tetap dibayar seperti biasa dan jangan ada pertanyaan.
Itu berhasil, kedua saya chat ke Ayah saya dan adik saya memberitahu hasil swab test saya. Dan ketiga, saya meminta semua orang yang satu rumah dengan saya agar swab test untuk memastikan mereka ikut terinfeksi atau tidak, dan saya bersyukur mereka negatif semua.
Mereka mengerti dan syukur saja mereka menurut dengan rencana saya agar tidak boleh ada yang tahu tentang saya. Saya putuskan stop sosial media juga karena ingin fokus kesehatan, Dan tengah malam saya berangkat kembali ke RS untuk karantina disana saja, lebih terjamin tidak menulari orang-orang sekitar.
Saya bicara dengan dokter agar disiapkan semuanya, sengaja saya pilih tengah malam karena jika siang hari banyak orang dan akan menimbulkan kehebohan jika disambut tim medis memakai APD dan itu berhasil karena di Magelang belum ada kasus resmi yang dilaporkan saat itu masih saya dan ayah saya. Minggu pertama karantina, terasa berat dan agak shock, kepikiran anak kangen ingin ketemu, beruntung dia mengerti mamanya lagi sakit, tak bisa tidur, dan anehnya gejala corona baru bisa saya rasakan.
Bersin dan batuk terus (mirip orang flu), saya diberikan masker oleh tim medis, dan mereka bilang bahwa sudah ada beberapa PDP kepada saya di Magelang namun belum ada tim gugus cepat waktu itu, mereka hanya karantina di rumah. Agak kaget dan mengkhawatirkan juga sih, sebegini cepatnya kah ini virus? Atau memang di Jogja atau Magelang sudah ada tapi belum terdeteksi?
Semakin kacau waktu itu dalam pikiran saya, tim dokter setiap hari terus memantau kondisi saya dengan sabar dan memberikan support agar saya kuat jalani ini semua. Mereka begitu luar biasa merawat saya di minggu pertama karantina, padahal saya tahu jika menggunakan APD lengkap panas dan gerahnya luar biasa. Mereka tidak bisa makan dan minum serta buang air jika sudah memakai APD lengkap dan tertutup rapat. Jadi bisa kalian bayangkan bagaimana perjuangan mereka dibaris terdepan saat itu.
Minggu kedua karantina, ada peningkatan gejala dan membuat saya sangat khawatir juga takut. Batuk-batuk hebat, sakit tenggorokan susah buat menelan juga untuk minum, sangat sakit jika untuk menelan sesuatu. Rasa ini jauh lebih sakit dari radang tenggorokan biasa, sangat menyiksa karena tenggorakan ini gatal dan perih serta sedikit berlendir sehingga kadang pun sudah agak mulai sesak nafas yang membuat daya tahan tubuh sedikit melemah.
Tim medis lagi-lagi dengan sabar menyuruh saya agar terus kuat dan berdoa serta beribadah. Saya menangis terharu, mereka luar biasa sabarnya, meski mereka mulai menunjukan wajah lelah dan panas luar biasa dibalik APD mereka, saya tidak pernah lupa memberi pelukan ke mereka setiap kali mereka datang ke kamar saya, hanya itu yang saya bisa beri untuk saling menguatkan kami di RS. Saya terus berharap agar virus ini tidak sampai paru-paru yang bikin pneuomia, karena saya sadar paru-paru saya pernah bermasalah beberapa tahun lalu. Dan itu ancaman terbesar saya waktu itu.
Beberapa tenaga medis mengatakan kasus pertama di Magelang resmi tercatat oleh tim gugus cepat covid, mereka bilang itu bukan dari saya karena itu berasal dari transmisi pemudik Jakarta. Tenaga medis bersyukur dan senang kepada saya yang mau sukarela mengkarantina sendiri di RS sebelum terlambat. Mereka bahkan berterimakasih karena aware terhadap kesehatan diri sendiri dan orang lain. Tapi sebenarnya mereka jauh lebih hebat dari yang kalian tahu selama ini selama pandemi ini berlangsung. Mereka seperti malaikat, seperti orangtua kita yang sangat telaten merawat kita.
Minggu ketiga karantina, beberapa pasien positif corona mulai berdatangan, bahkan ada satu yang langsung menggunakan ventilator sebagai alat bantu nafas. Tenggorakan saya mulai agak sakit dan sulit untuk bicara serta badan luar biasa sakit seperti berat sekali dan malas juga lemas, saya harus menggunakan chat untuk bicara dengan tim medis untuk menanyakan tentang tenggorokan saya dan keadaan saya.
Dia bilang itu adalah fase penting daya imunitas kita untuk melawan sang virus, dalam bahasa mereka virus sedang berusaha menembus pertahanan terakhir kita menuju paru-paru. Tempat terakhir dimana mereka akan bersarang dan menghabisi paru-paru kita, bahkan menurut dokter jika yang sebelumnya corona telah mencapai paru-paru dan berhasil sembuh pun akan sangat rentan tertular dan resiko kematiannya semakin tinggi.
Setiap perbincangan saya dengan tim medis itu saya makin banyak tahu, yah meskipun hanya melalui chat karena saya belum bisa diajak bicara banyak. Tetapi dari mereka tidak menunjukan rasa bosan dengan saya. Memberi saya dorongan semangat agar melawan virus itu untuk tidak mencapai paru-paru saya, ketakutan terbesar saya waktu itu karena saya tahu tidak enaknya bernafas dengan bantuan ventilator.
Bayangan buruk itu yang membuat saya ingin cepat sembuh, tim medis terus memberikan obat serta vitamin C untuk menjaga imunitas. Pada dasarnya ini adalah salah satu golongan virus influenza jadi perbanyak vitamin C dan air putih akan menghambat virus dan memperkuat daya imunitas kita. Tim medis pun sering menyuruh dan mengajak saya berjemur dibawah sinar matahari langsung.
Di akhir pertengahan minggu ketiga ada keajaiban, rasa sakit tenggorokan dan badan yang sakit luar biasa kemarin perlahan mulai turun dan berkurang. Tim medis memerika pun hasilnya menunjukan peningkatan untuk berangsur sembuh. Saya tidak tahu obatnya apa yang tim medis lakukan, tidak ada anti bodi atau vaksin khusus. Karena mereka juga bilang vaksin virus ini belum ada yang menemukan secara pasti, jadi saya hanya mengikuti arahan dan anjuran mereka serta banyak berdoa.
Terus terang saya paling benci ketika ada yang bilang tidak takut corona, susah pakai masker dan jaga jarak. Mereka bisa seperti itu karena mungkin belum mengalami jadi belum memahami. Jika mereka sudah positif corona, saya jamin mereka akan menyesal di kamar isolasi, dan berjuang hebat sendirian setiap saat di dalam kamar isolasi. Ini virus luar biasa, bayangkan saya bisa tanpa gejala loh. Dan di Jawa Tengah belum sebooming sekarang ini, saat ini zona merah justru sudah dimana-mana.
Virus ini sangat infeksius dan menyebarnya sangat cepat hanya melalui perantara manusia. Kata tim medis, jika satu orang di antara seratus orang yang berkerumun ini ada yang terinfeksi, dan dia bersin atau batuk sekali saja, maka seratus orang tersebut langsung menjadi ODP dan harus menjalani karantina mandiri. Dan akhirnya, tim dokter memberi kabar saya berhasil negatif corona secara total, saya boleh kembali ke rumah dalam dua hari ke depan.
Dalam dua hari terakhir itu saya banyak bercerita dengan tim medis, kita saling share pengalaman dan kehidupan kita sehari-hari. Agak sedih juga dengar cerita mereka yang kangen keluarga dirumah tapi tak bisa pulang karena sayang keluarga tidak ingin mereka tertular oleh kita. Ada yang rela berpisah dengan suami atau istri serta anak mereka demi menyelamatkan nyawa pasien corona. Yang masih sehat sangat susah dan sulit dihimbau untuk memakai masker dan menjaga jarak, mereka sangat sedih melihat keadaan masyarakat yang terlalu santai dan menganggap sepele virus ini.
Padahal virus ini tak pernah mengenal batasan apapun untuk menginfeksi manusia. Mereka lelah, sangat lelah, karena itu mereka meminta kita semua ikut membantu memutus rantai penyebaran. Dan ingat loh, transmisi lokal itu sebenarnya sudah terjadi lama di tengah-tengah kita namun belum terdeteksi saja. Saya dan ayah saya contohnya, ayah saya tertular dari transmisi lokal yang tidak tahu pasti dari siapa karena dia banyak berinteraksi dengan orang.
Sebelum pulang tim medis meminta saya agar meneruskan karantina kembali selama 14 hari di dalam kamar saja. Ternyata belum berakhir meskipun sudah negatif dan boleh pulang, tim medis masih akan terus mengontrol saya dan memeriksa keadaan saya setiap hari. Tiba hari dimana saya pulang, saya putuskan memakai jas hujan setelan, sarung tangan bedah, dan sepatu boot, untuk sampai keluar parkiran mobil. Mobil di antar adik saya dan dia saya suruh pulang dengan grab, membuka pintu garasi dan pintu belakang, menyiapkan air panas mendidih dan pakaian buat ganti serta masker.
Sebelum pulang, setelah merasa cukup aman untuk tubuh saya (dengan jas hujan lengkap dengan sarung tangan dan sepatu boot tadi) saya menunggu tim medis ke ruangan untuk membolehkan saya pulang. Setelah mereka datang dan kasih ijin pulang, saya peluk mereka satu persatu sebagai ucapan terimakasih dan janji mentraktir mereka ketika pandemi ini berakhir.
Pesan mereka satu suara untuk saya “Selamat yah Bu, akhirnya bisa negatif total. Tetap jaga kesehatan, stay safe and stay at home. Jangan keluar jika tidak mendesak, jangan lupa pakai masker dan rajin cuci tangan, serta rajin minum vitamin C nya,” ketika mereka mengatakan ini secara bergantian, ada perasaan emosional buat saya yang tak bisa menahan airmata saya.
Akhirnya saya pulang di antar mereka hingga depan pintu ruang isolasi, setelah di luar isolasi saya disemprotkan disinfektan, setelah itu saya membuka semua jas hujan, sarung tangan, dan sepatu boot. Saya tinggal di RS dan saya langsung menuju ke rumah. Di jalan saya telepon adik saya, suruh menyiapkan apa yang saya minta tadi. Sampai rumah, melihat Stevie kebayang dong seorang ibu lama tak ketemu, anaknya mau lari menghampiri dan ibu ingin meluk tapi masih belum bisa.
Rasanya sangat berat, padahal Stevie ada di depan mata. Saya masuk lewat pintu belakang, saya buka dan rendam semua pakaian saya di air panas dengan deterjen, saya lalu pakai baju yang sudah disiapkan lalu saya mengunci diri di kamar selama 14 hari. Makannya di antar sampai depan pintu kamar, ngobrol sama anak lewat video call padahal satu rumah. Semua itu demi kesembuhan saya dan bisa menyapa kalian semuanya.
Maaf jika kepanjangan cerita saya ini, jadikan pelajaran untuk kita semua dalam menghadapi corona ini. Ini virus luar biasa ‘galak’ sama manusia, kalian jangan pernah anggap pandemi ini sepele. Kesehatan di atas segala-galanya didunia ini, itu nikmat Tuhan yang tak pernah bisa kalian dustakan selama ini.
Memang benar, bagi orang yang susah dihimbau menganggap jika terkena corona itu takdir. Tapi takdir juga bisa diubah dan dilawan dengan kita berikhtiar menjaga kesehatan kita dan kesehatan sesama manusia sebagaimana diwajibkan dalam Islam #staysafe #stayathome #dirumahaja. (*).
*Tulisan ini diterima redaksi dialektis.co lewat pesan chat pribadi, dengan berpesan untuk tidak dicantumkan pengirimnya.